Senin, 20 Mei 2013

Glukosa

Bisa tinggal di jepang adalah sesuatu yang gw sangat-sangat, sangat syukuri. Kenyamanan bertransportasi yang super teratur dan efisien, kehebatan vending machine pengganti warung di setiap sudut jalan kota, serta keramah-tamahan dan budaya kekeluargaan yang sungguh nyata, bisa lo peroleh setiap detiknya dimanapun dan kemanapun lo mau pergi. 

Namun, itu semua belum menunjukkan sebagian besar hal-hal yang gw bisa syukuri disini, hal yang paling bisa disyukuri bagi gw dan mungkin bagi ribuan expatriat lainnya adalah super atraktifnya makhluk hawa disini.

 Hanya ada dua pilihan menjadi makhluk hawa disini, antara 

1. Lo bisa jadi imut, dan 
2. Lo bisa jadi cantik. 

Bila lo tidak termasuk 1 dari 2 golongan ini, mungkin lo masuk keduanya :))

Izinkan gw menjelaskan yang gw maksud dengan imut. 

Imut yang gw maksud disini adalah imut dalam arti mereka bisa diterjemahkan ke dalam komik sebagai tokoh wanita yang keliatannya ga pernah salah.

 Segala yang mereka lakukan seperti tenggelam dalam lautan acceptance lingkungan sekitar.

 Ga heran kalo misalnya mungkin suatu saat nanti atau sudah pernah terjadi wanita-wanita imut ini loncat dari jembatan atau gedung tinggi untuk bunuh diri, dan orang-orang sekitarnya hanya berteriak 'かわいい!かわいい!(kawaii)' yang mungkin bisa gw terjemahkan seperti 'Lucunyaa lucunyaa!' 

Setelah kejadian itu, berjalan seperti biasa lagi seakan-seakan ga ada apa-apa yang terjadi. 

Begitulah wanita-wanita imut di Jepang. 

Baiklah, mungkin memang contohnya agak sedikit ekstrim, tapi lo dapet poinnya. 

Yaitu wanita imut disini suka bunuh diri. 

Eh salah ya..

Opsi kedua menjadi kaum hawa di Jepang adalah cantik. 

Walau ada ribuan versi cantik menurut diri lo masing-masing, mungkin gw bisa bilang di Jepang lo dapat menemukan wanita-wanita cantik menurut versi cantik lo sendiri itu ada 7 wanita cantik dari 10 wanita yang bisa lo temui di kereta. 

Ini statement yang sangat tinggi lho.

 Dari ribuan versi cantik wanita lo semua masing-masing, gw bisa meyakinkan lo kalo dari ribuan versi cantik lo itu kalo digabungkan ada rata-rata 70% wanita di Jepang itu cantik.

 Ada rata-rata 7 dari 10 wanita di jepang menurut ribuan versi lo itu cantik. 

Ribet ga sih? :))

Gw ambil kereta sebagai sampel karena emang ini tempat yang paling gampang buat gw amati, bukan karena ada pengecualian di kereta itu kaum hawanya cantik-cantik. 

Gw bisa aja ngambil sampel di mall, atau shibuya, atau harajuku, atau bahkan supermarket karena banyak orang, tapi gw lebih sering menghabiskan waktu dalam kereta.

Mungkin agak konyol bila gw melanjutkan tulisan ini dengan teori-teori yang gw tanpa bukti buat untuk menjelaskan fenomena ini. 

Gw mengajukan teori bahwa ini semua berasal dari tingkat pemilihan kualitas orang-orang Jepang yang sangat tinggi.

 Mereka sangat perfeksionis. 

Teori gw mempunyai logika yang sama dengan Darwin, melainkan 'survival of the fittest', punya gw adalah 'survival of the prettiest/cutest'.

 Pria-pria Jepang dengan sifat pemilih/perfeksionis yang sangat tinggi itu secara perlahan-lahan dari zaman dahulu 'menyaring' wanita-wanita di Jepang, menyisakan wanita terbaik dari yang terbaik. 

Sisanya adalah wanita-wanita Jepang tercantik dan terimut yang masih ada di Jepang saat ini.

 Ya, mungkin ini memang terjadi dimana-mana di seluruh dunia, namun kalo lo mau melihat contoh paling nyata dari suksesnya fenomena ini terjadi, Jepang adalah tempatnya. 

Teori gw ini menyisakan pertanyaan mengapa pria-pria di Jepang masih ada yang kurang oke?

 Ini berlanjut dari jawaban gw sebelumnya.

 Yang tersisa di Jepang adalah wanita terbaik, dan mereka jumlahnya lebih banyak dari pria. 

Mereka terpaksa harus memilih pria-pria yang kurang oke ini guna meneruskan keturunan mereka. 

Hasilnya keturunan pria-pria kurang oke ini berlanjut walau sedikit demi sedikit membaik hasil karya gen dari wanita-wanita terbaik ini.

Sekarang, yang sangat disayangkan adalah banyak dari orang-orang Jepang ini tidak mau mempunyai anak, yang menyebabkan lebih banyak orang tua dari anak-anak muda di Jepang, aneh bukan? 

Ini yang banyak orang Jepang khawatirkan, masa depan mereka kan tergantung pada anak-anak muda ini. 

Gw juga ga tau kenapa mereka bisa melakukan hal yang terbalik dengan Indonesia zaman dulu ini. 

Apa sudah jauh lebih majukah? 

Apa mereka punya prioritas yang berbeda-kah? 

Apa sebenarnya mereka mau menarik orang-orang asing untuk ke Jepang dan membuat hubungan internasional Jepang dengan banyak negara menjadi baik.

 Jangan-jangan gw tercongkel ke dalam trik yang dimainkan Jepang ini?

Maafkan bila sedikit, sebagian, atau semua dari yang lo baca di post ini membuat lo terhina/tersinggung.

 Ini cuma secuplik pikiran gw aja. 

At least, gw bisa jujur sama diri gw sendiri dengan blog ini. 

Selamat pagi.



Ruben

Minggu, 19 Mei 2013

Minggu

Hari ini gw ke gereja, sama seperti hari-hari minggu sebelumnya.

Gw selalu bersemangat ketika ke gereja salah satu alasan terbesarnya adalah karena gereja gw ini bahasa Indonesia, dan tentu banyak kenalan setanah-air gw ini berasal dari sana.

Selain PPI Waseda yang kira2 ada 30an orang, gereja adalah komunitas dimana gw bisa merasakan seperti berada di tanah air lainnya.

Bukan berarti gw hanya ke gereja hanya ketika gw merindukan tanah air, tapi gw merasa telah menemukan Little Indonesia di Tokyo.

Bayangin ga sih, walau lo tinggal ribuan kilometer dari keluarga lo, tapi tiap minggu lo seakan bisa pulang ke Little Indonesia ini.

Gw bisa menghargai lah kalo orang Cina suka pergi ke China Town atau lo sering liat ratusan orang India sedang jualan karpet entah yang mereka bawa dari India atau yang disulap jin Mustafa di Little India di Singapur itu.

Tapi menurut gw, ga perlu deh ada daerah yang dikhususkan seperti Shin-Okubo yang merupakan daerah Korea di Tokyo, China Town dimana-mana, Little India di Singapur, ataupun Little Italy di Manhattan, gereja dengan bahasa lo sendiri itu udah cukup bagi gw.

Orang-orang yang gw temui dan kenal disana sangat cocok dan bahkan sebagian mempunyai cara pikir yang serupa.

 Boleh kita punya ribuan pulau, ratusan bahasa dan suku, tapi mau lo pergi ratusan maupun ribuan kilometer kemanapun, ataupun bisa bahasa macem-macem pun, sukses jadi milyarder dimanapun, ga ada yang bisa menghilangkan keindonesiaan lo.

Sehabis gereja pun, gw sering makan malam dulu dengan mereka.

Kehangatan ini pun yang membuat gw merasa dihidupkan kembali tiap minggu, bukan karena Tuhan yang hadir di hati gw setelah misa di gereja, bukan juga karena roh kudus yang bisa hinggap di pikiran gw, ataupun tubuh Kristus yang berwujud hosti itupun sebelum gw cerna bisa nerobos ke hati gw gitu, melainkan karena sebenarnya gw udah pulang ke Indonesia dan kembali lagi tiap minggu.

Tanpa perlu naik Air Asia 7 jam pake transit di Malaysia segala, cukup naik kereta ganti line 1x di Shinjuku, sampe lah gw di Yotsuya alias Little Indonesia gw itu. 

Atau yah tapi emang mungkin sih, Tuhan, roh kudus atau hosti itu ngambil satu atau dua bagian lah dari perjalanan gw ke Indonesia itu.

Sekarang udah Senen nih.. Yah sebenernya males juga sih yaa.. At least idealnya gw semangat deh..



Ruben

Sabtu, 18 Mei 2013

Dua Dunia

Singkat kata, gw hanya perlu mengeluarkan sekitar 50% dari pengeluaran yang dibutuhkan iphone.

Balik ke cerita gw sebelumnya.

 Ya intinya gw lebih memilih ngobrol bersama R ketimbang main ipad gw.

Bulan demi bulan silih berganti, dan gw pun sudah jarang pulang bersama R lagi, mungkin karena keduanya sudah sangat sibuk.

Pikiran gw yang lain punya firasat bahwa sebenarnya kita secara subconscious saling menghindari pulang bersama karena kita lebih memilih memainkan smartphone kita masing-masing.

Dan gw pun menyadari bahwa pikiran yang kedua ini lebih mungkin tepat kebenarannya.

Gw kemudian sangat kecewa dengan gw sendiri karena gw telah masuk ke dalam fenomena ini.

 Namun gw sadar bahwa gw bisa mengubah ini hanya dengan secara conscious menghidupkan hidup real gw.

Pikiran gw ini kemudian mengikutinya.

Apa negara yang gw tinggali sementara ini sungguh lebih memfokuskan membentuk passive learners dibandingkan misalnya Amerika Serikat yang lebih fokus membentuk active speakers?

Semua orang yang ada di kereta sangat individualistis dengan benda-benda yang mereka bawa yang mereka bisa sentuh-sentuh setiap saat itu.

Tapi apa bukan itu sama seperti di Amerika Serikat juga.

Tapi paling tidak gw sudah bisa menyadarinya dan bisa lebih menghidupkan dunia asli gw dibanding dunia maya.

Mari kita telaah lebih dalam lagi.

Pernah ga sih lo sadar ketika lo meminta nomer hp/facebook/line seorang cewe, lo itu sedang meminta versi maya dari cewe asli yang ada di depan mata lo itu?

 Dan saat itu juga dan saat lo ga bersama cewe itu, lo lebih excited kepada versi maya dari cewe itu ketimbang cewe aslinya?

Gw sekarang udah sadar bahwa kebanyakan dari kita, atau paling tidak gw sendiri, lebih fokus ke dunia maya.

 Gw mau menghidupkan lebih lagi hidup real gw, dan gw harap lo juga.

Selamat berhari Minggu :)



Ruben



Bukan bukan siapa siapa

Bukan bukan siapa siapa mungkin agak susah dipahami maksudnya ketika pertama kali melihatnya, tapi sebenarnya sangat sederhana.

 Berawal dari istilah 'bukan siapa siapa' yang artinya seseorang yang tidak berarti untuk apapun dan dimanapun, ditambahkan negasi lagi didepannya.

 Bukan, bukan siapa siapa. Bukan bukan siapa siapa.

 Maksudnya jelas bahwa pemilik blog ini bertujuan untuk menegaskan bahwa dirinya bukan bukan siapa siapa, bukan orang yang tak berarti apa apa.

Salam kenal, gw Ruben.

 Daripada gw ngasitau gw lahir dimana, ibu sama bapak gw orang apa, sd, smp, sma dan gw sekarang lg kuliah apa dan dimana, gimana kalo gw menjelaskan diri gw dan apapun yang terjadi sama gw di blog ini tanpa nyebutin hal-hal itu? 

Paling tidak, tidak menyebutkan hal-hal itu dulu.

 Gw juga lagi mau nyari diri gw sendiri sebenarnya gw itu siapa.

 Mari kita singkirkan sama-sama status-status gw ini dan cari sumber pikiran sama hati dari orang yang mendapatkan status-status itu di balik tubuh gw.

Berawal dari perjalanan yang gw setiap hari harus jalani dari asrama ke kampus yang memakan waktu sekitar 30 menit, otak gw sering mengajak gw berpikir hal-hal filosofis yang gw pikir sudah jarang didapat di zaman yang sungguh modern ini, kita terlalu asik dengan smartphone kita masing-masing.

 Tidak ada waktu untuk berpikir sendiri lagi, hanya kita, dan orang kecil yang sibuk mengontrol otak kita di dalam sana.

Suatu saat gw mikir demikian:

Ketika gw disuruh menuliskan / menjelaskan gw ini siapa, wajar kan ya kalo yg pertama kali hal-hal yg mau gw sampein itu adalah nama gw, darimana asalnya, umur, kuliah dimana, dan lg belajar apa. 

Lanjut ke pertanyaan kedua yang lebih mendalam, kaya hobi gw apa? Kenapa kuliah disini? Dan pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa mau belajar ini, dan kedepannya mau jadi apa?

Gw kemudian mikir. 

Ga ada dari pertanyaan2 yang diajukan ke gw ini sebenarnya peduli tentang sesungguhnya siapa gw ini. 

Atau siapa lo itu kalo gw menanyakan hal yang sama ke elo. 

Ngga ada yang membedakan lo dengan orang yang punya nama yg sama dengan lo, asal yg sama dengan lo, tempat kuliah yg sama dengan lo, major yg sama dengan lo, hobi yg sama dengan lo, alasan kenapa ngambil major itu yg sama dengan lo, dan masa depan yg sama dengan lo.

Baiklaah, mungkin itu semua udah bisa menunjukkan lo itu siapa, tapi ya.. intinya bukan itu bukan? 

Mungkin ga sih kalo ditanya 'kamu siapa ya, boleh kenal?', kita bisa jawab.. 'ohh gw sih simpel aja, gw cuma orang yg memperlakukan kehidupan itu seperti liburan panjang' misalnya, atau 'salam kenal, gw orang yang akan menjalani hidup gw seperti sekarang adalah detik pertama gw memulai sisa hidup gw!'

Salam kenal. Gw jawaban yang pertama.



Ruben