Kamis, 29 Januari 2015

Catatan Pinggir #1 (Penjajahan)

Susah rasanya menyamakan negara yang aku tinggali sekarang dengan negara dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.

Infrastrukturnya lebih maju, budaya dan pendidikannya lebih teratur, pun kesehatan politiknya terjaga.

Itu memang tidak bisa dipungkiri lagi.

Dan banyak orang akan bilang bahwa infrastruktur, budaya dan kesehatan politik adalah bukan segalanya.

Omong kosong.

Kalau negara tidak cukup infrastrukturnya bagaimana menyambungkan lidah dari ujung barat sampai ujung timur Hindia?

Kalau negara tidak teratur sistem pendidikan dan pendidiknya, bagaimana bisa menyamaratakan pendidikan si Muhammad Zulfikri di Jakarta dan si Boaz Yaboisembut di Papua?

Apalagi budi pekerti?

Yang satu maju di tanah Jawa dengan berbagai opsi mata pencaharian yang berlimpah, yang satu termenung di bawah ranting pohon Papua sengsara memikirkan nasib stagnan sebagai rakyat jelata.

Dari pendidikanlah, dari budi pekertilah kian politik Indonesia akan disembuhkan.

Dari yang kental akan comberan kotor mengelilingi tiang-tiang gedung pemerintahan, menjadi kejernihan hati satu tujuan mensejahterakan rakyat Indonesia di atas topangan kaki sendiri.

Boleh berteman dengan asing, namun jangan sampai 'harus' berteman dengan asing.

Kita berteman dengan asing bukan sebagai keharusan, melainkan kesadaran akan pentingnya menyadari bahwa kita sebagai masyarakat Asia Tenggara, sebagai masyarakat Asia, masyarakat dunia perlu bahu membahu secara dewasa berekonomi, berpolitik.

Sampai sekarangpun, orang Indonesia bepergian ke Amerika, ke Jerman, ke Inggris, bahkan ke Belanda dan Jepang, negara-negara yang dahulunya berjaya di zaman kolonial.

Belanda dan Jepang.

Bayangkan.

Negara-negara inilah yang dahulunya berjaya di atas tanah Hindia.

Orang-orangpun rela dijajahi dirinya oleh negara-negara ini dengan kemauan sendiri.

Dengan kemauan sendiri!

Oleh negara-negara yang dahulunya menjajah nenek moyangnya sendiri, seakan belum puasnyalah birahi dan nuraninya ditindas oleh bangsa lain.

Hanya karena tanah dimana 'penindasan' itu berada menjadi saksi kemauan kedua belah pihaklah yang membedakannya.

Saya kira ini masih sama prinsipnya.

Penindasan halus.

Terpelajar-terpelajar tahu mau tidak mau harus rela ditindas karena kurangnya fasilitas di bumi ibu pertiwi.

Memang, keberuntungan status ekonomilah yang menjadi faktor utama bisa tidaknya belajar ke negara yang lebih maju.

Namun, kesadaran sajalah merupakan langkah besar.

Jangan mau dikelabui dengan anggapan bahwa Indonesia sudah seutuhnya hebat.

Masih permulaan kalau kita mau bandingkan dengan Jepang.

Bahkan, masih dalam permulaannya permulaan.

Atau permulaannya permulaannya permulaan?

Mungkin.

Yang jelas, sebagai manusia Indonesia, tentu harapan akan perkembangan itu pasti bulat adanya.

Dari susah payahnya diraih demokrasi setelah dimulainya orde reformasi, tentu sejarah kesuksesan itu tak akan luntur.

Walau musuh tidak jelas nampak di mata, namun jelaslah kita mencium keberadaannya.

Tidak jelas karena jumlahnya masal.

Berwujud manusia, tapi tak pernah memikirkan manusia Indonesia yang lain seutuhnya.

Tersebar dalam partai-partai politik.

Dijajah negara sendiri.

Argumen dilanturkannya hanya karena perut sendiri dan menutup kuping akan argumen lainnya.

Tidak peduli kan kestabilan politik negara dan membuat segala peraturan-peraturan baru malah mandek di bawah gedung berbentuk BH bernama dewan perwakilan rakyat.

Itulah Hindia masa kini.

Indonesia.

Belajar di negara penjajah tentu bisa dijadikan acuan.

Yang sulit bagi terpelajar yang membaca sejarah tentulah kesadaran bahwa negaranya sendiri memang masih belum semaju negara yang dahulu menjajahnya.

Kalau itu bisa dicerna, barulah kita bicara akan perkembangan.

Yang tidak peduli akan sejarah, tentulah akan senang hati menuntut ilmu di negeri matahari terbit.


Namun, toh apalah aku ini?

Dengan uang rakyat bisa jadi tenar
Sewakan pelacur bercanda-canda
Hanyalah pelajar yang sedang berkoar
Hanyalah pemuda yang melihat tanda

Minggu, 11 Januari 2015

Nasihat, marah, dan Charlie Hebdo

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Sering saya dalam berorganisasi, bertemu teman-teman yang memberikan saya nasihat tentang sesuatu yang sebenarnya saya sudah rencanakan sebelumnya.

Bisa saya menyadari bila saya sudah mengerti nasihat itu menjelang akhir, pertengahan, atau yang paling membuat risih adalah ketika awal-awal seseorang memberikan nasihat tersebut.

Si pemberi nasihat kadang tidak mencoba mencaritahu apakah saya sudah mendapatkan pesan yang ia sampaikan atau tidak.

Si pemberi nasihat juga tidak menberikan saya kesempatan untuk balik berbicara.

Perlu pula menambahkan, apa saja yang buruk yang akan terjadi bila saya tidak mengikuti nasihatnya, seakan saya telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai nasihatnya.

Hal-hal ini menguras energi yang menurut saya tidak perlu untuk si pemberi nasihat.

Si penerima nasihat walau tidak menguras energi, namun rasa risih mendengarkan dan untuk menahan bantahan memerlukan tingkat kedewasaan yang tinggi.

Kegiatan memberikan nasihat, saya pikir terlalu sering disamakan sebagai marah.

Padahal, ada perbedaan penting antara memberikan nasihat dan marah yang saya rasa perlu untuk kita sadari ulang bersama.

----------------------------------------

Contoh:

Tinggal seorang ibu dan anaknya seorang murid smp, di sebuah rumah. Hari itu libur, namun hari keesokannya si anak akan mengikuti ujian matematika di sekolah. Si anak belajar dari pagi hingga sore sedangkan ibunya pergi ke luar rumah. Karena sudah merasa puas dengan kinerja belajarnya, si anak memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu pada sore hari dengan menonton TV. Si ibu datang saat anaknya sedang menonton TV. Si ibu memberikan nasihat dengan cara marah-marah dan tidak memberikan si anak kesempatan menjelaskan apapun. Si ibu juga perlu menambahkan bahwa dirinya gagal menjadi seorang ibu karena mempunyai anak yang tidak mempunyai kesadaran sendiri untuk belajar.

---------------------------------------

Ada beberapa poin yang menurut saya perlu untuk dianalisa satu persatu untuk menghindari kesalahpahaman antara pemberi dan penerima 'nasihat' seperti ini.

1. Pengetahuan dasar penerima nasihat.

Nasihat layaknya diberikan bila si penerima nasihat memang sebenarnya belum mengerti apa yang menjadi pesan dari si pemberi nasihat.

Sudah sebaiknyalah ini dihindari dengan cara penerima nasihat menyadari akan pentingnya kesamaan pikir kedua belah pihak.

Ini dilakukan dengan cara pemberi nasihat memastikan pengetahuan si penerima nasihat dengan sebuah pertanyaan.

Saya ambil contoh seorang ibu yang menanyakan apa anaknya sadar akan kewajiban untuk belajar karena keesokan harinya akan ada ulangan matematika.

Bila jawabannya 'Ya', lebih baik nasihat dilanjutkan.
Bila jawabannya sudah 'Tidak', marah adalah opsi yang tepat.

2. Pandangan detail / rencana penerima nasihat.

Walau pemberi dan penerima nasihat berada di halaman yang sama dengan mempunyai pengetahuan dasar yang sama, namun pasti ada hal yang perlu diketahui si pemberi nasihat sebelum memberikan nasihat.

Ini bisa dilakukan juga dengan pertanyaan bagi si penerima nasihat.

Contohnya dari kisah si ibu dan anak, si ibu bisa memberikan kesempatan bagi si anak untuk menjelaskan situasi ini.

Si anak bisa dengan jujur dan tidak ada tekanan apapun untuk menjelaskan bahwa dirinya sudah belajar dari pagi hingga sore.

Mungkin bahkan, bisa dengan menunjukkan kertas-kertas hasil latihan untuk ujian matematikanya esok hari.

Bayangkan bila si ibu sudah mengambil keputusan untuk marah disini.

Si anak tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menunjukkan hal ini walaupun dirinya memegang bukti bahwa ia sudah belajar.

Memotong pembicaraan ketika ibunya sedang marah tentu adalah hal yang tidak sopan dan tercela.

3. Memahami situasi dan memutuskan untuk memberi nasihat atau marah.

Ini perlu dilakukan guna si ibu dalam kasus ini, bisa menghindari sakit hati mengakui kalau dirinya gagal mendidik anaknya, yang sebenarnya sungguh tidak perlu karena memang tidak gagal mendidik anaknya.

Ketika merasa bahwa informasi sudah cukup, barulah si pemberi nasihat bisa memutuskan untuk hanya memberi nasihat atau marah.

Dengan begitu, energi tidak akan sia-sia terbuang dan perselisihan tidak akan semena-mena terjadi.

-------------------------------------

Izinkan saya untuk mengekstrapolasikan masalah ini ke trajektori yang lebih kita temui sehari-sehari dan menurut saya penting.

Sering dari berbagai sumber berita yang saya baca, opini dan editorial menjadi tempat para penulisnya menuangkan pendapatnya yang subjektif.

Memang kedua jenis tulisan itu dalam jurnalistik adalah subjektif dalam isi dan tujuannya.

Pembaca boleh menyimpulkan sendiri apa opini tersebut layak dipertahankan atau ada perbedaan pandangan antara penulis dan pembaca.

Yang sering terjadi adalah satu sumber berita mempunyai jenis pandangan yang konsisten mendukung atau menyerang satu pemikiran, kubu politik atau bahkan subjek, orang.

Dan pembaca tidak diwajibkan untuk membaca sumber berita dalam berbagai perspektif, yang memungkinkan mereka hanya membaca satu sumber berita secara terus menerus, menutup pemikirannya menjadi eksklusif dengan satu sumber berita saja.

Bila ini terjadi, walau pengetahuan dasar kalangan pembaca bisa jadi sama semua (nomor 1 dari yang saya tulis di atas), pandangan detail (nomor 2) bisa bervariasi tergantung dari perspektif mana si penulis mengambil sisi suatu berita.

Untuk nomor 3 (memutuskan untuk memberi nasihat atau marah) menjadi sangat penting disini.

Ini yang bila saya boleh masukkan contoh, mengakibatkan perselisihan yang tidak perlu seperti apa yang dilakukan oleh pembenci Jonru yang menjelek-jelekkan namanya, pembunuhan penganut Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam (FPI) dan yang paling baru terjadi adalah rangkaian penembakan terhadap petinggi komik satir Charlie Hebdo.

Marah disini saya artikan sebagai membenci, menbunuh, menembak.

Kalau merasa tidak sependapat dengan Jonru, ya jangan dibuat repot dengan menjelek-jelekkan namanya.

Kalau merasa Ahmadiyah menghina agama Islam, tapi bukankah membunuh tetap tak bisa dibenarkan apapun alasannya? (Di luar kasus hukum)

Kalau merasa Charlie Hebdo menghina agama, baik itu agama Islam maupun Kristen? Tuntut komiknya, bawa ke pengadilan, hukum, denda, dan cabut izinnya.

Mereka mungkin tidak melanggar hukum yang paling sering kita dengar pasca insiden berdarah di negara hukum seperti Perancis itu sebagai 'freedom of speech', hak berpendapat.

Tapi, mereka bisa dituntut, dibawa ke pengadilan, dan kita biarkan jaksa menjadi hakim kelanjutan komik mingguan tersebut.

Dengan logika yang sama, 'mini skirt causes rape'. Mini skirt tak melanggar hukum, tapi menyulut api bahaya pemerkosaan.

Hukum tidak mengizinkan kita untuk marah, untuk menembak petinggi Charlie Hebdo, untuk memerkosa pemakai mini skirt.

Tetapi hukum bukanlah satu-satunya yang bisa menjadi pegangan.

Negara harus hadir untuk hal-hal sensitif seperti ini, apalagi tentang agama.

Thin ice.

Lapisan es yang tipis.

Di Sahara, barangkali.

Kapan saja bisa retak, pecah, terbelah-belah.

Hukum hanya menentukan batasan berapa ketebalan minimum lapisan es tersebut.

Tapi inisiatif untuk meningkatkan lapisan es tersebut tidak bisa tersentuh olehnya.

Hukum juga tidak bisa mengatur seberapa hangat cuaca yang menyebabkan lapisan es itu akan kemudian retak dan pecah.

Melainkan marah (menembak, membunuh, dan memerkosa), kita bisa memberi nasihat / pelajaran dengan menuntut, mencari solusi yang lebih baik.

Balik ke kalimat pertama saya.

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Kita mungkin tahu akan kesalahan yang Jonru propagandakan, yang Charlie Hebdo gambarkan.

Tapi butuh kedewasaan yang tinggi untuk sabar dan tidak marah dalam hal ini.

Sedikit pemikiran saya.