Senin, 14 November 2016

Secarik Surat untuk Rangga

Rangga, sesungguhnya aku bertanya tentang Cinta, apa dia yang selalunya membahagiakan sedihmu, menyehatkan sakitmu?

Untuk yang selama ini kau tinggalkan, dalam angan untuk melegakan hausmu, mengeyangkan laparmu?

Tak pikirkah engkau betapa besar keegoisan yang kau harus miliki, untuk dapat merebutnya kembali, yang tak kunjung meraimakan sepimu, memudakan tuamu?

Yang sejujurnya saja, tak pernah sedetik jua mencintai dirimu?

Rabu, 02 November 2016

Keinginan Jasmani dan Cinta

Mungkin terdengar, terasa, dan tertuliskan dalam sejarah manusia bahwa keduanya selalu berdampingan, yang dianggap bahwa yang satu tidak akan pernah bisa berdiri sendiri tanpa yang lain. Cinta akan hampa tanpa adanya keinginan jasmani seorang pria dan wanitanya untuk memiliki satu sama lain. Sebaliknya, keinginan jasmani tanpa cintapun menafikan manusia yang dikatakan memiliki nalar dan yang bisa mengontrol emosi diri dari hasrat-hasrat naluriah makhluk hidup belaka.

Namun, tidak selamanya cinta yang akan selalu mendikte manusianya untuk memuaskan keinginan jasmani manusia. Manusialah yang mengontrol cinta, dan bukan sebaliknya. Manusia terlalu maju untuk tidak malu dengan kemampuannya untuk mengontrol cinta.

“Budak Cinta” adalah idiom yang sering digunakan untuk memberikan label pada manusia-manusia yang tidak memliki kemampuan untuk mengontrol cintanya. Manusia-manusia yang didikte secara goblok oleh cinta yang sebenarnya ia miliki tersebut, membuat dirinya tak berdaya, membuat seluruh darah yang ada pada tubuhnya hanya terfokus pada sekumpulan sel dalam otak yang berfungsi untuk memuaskan seluruh keinginan pasangannya.

Bodoh, tolol, idiot.

Manusia yang sudah berevolusi jutaan tahun bisa-bisanya tidak bisa mengikuti perkembangan kemampuan untuk mengontrol rasa cinta. Apa ini yang dinamakan love is blind? Tentu saja bukan. Apa bila love is blind, love tidak akan pernah bisa mengontrol manusia untuk menjadikannya sebegitu bodohnya. Manusia lemahlah yang kemudian dijadikan buta akibat kepintaran dan kelicikan cinta itu sendiri.

Namun, berbahagialah kita yang masih bisa mencinta, karena sesungguhnya cintapun yang menjadikan manusia pada zaman ini yang terpilih, dengan cara yang paling demokratis, dan dengan menganut asas-asas hukum yang sesuai. Bagaimana tidak, yang memilih manusianya sendiri, dan disetujui oleh kedua belah pihak dengan memberikan ‘suara’ mereka, dan adil karena kedua insan yang dipersatukan oleh cintapun mempunyai hak-hak dan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan persetujuan yang mereka sendiri buat di awal hubungan. Pun bila adanya pertengkaran, dapat diselesaikan dengan cara yang musyawarah, atau jikalau sudah melebihi batasnya, cinta itupun putus dan keduanya pergi ke jalannya masing-masing jika tidak ada pengadilan banding untuk menyambung hubungan mereka kembali.

Kadang, kita harus belajar dari cinta.


Atau, cinta yang harus belajar dari kita?

Sabtu, 10 September 2016

Manusia Naif

Sesungguhnya pada apakah manusia akan selalu berjuang apabila variabel uang tetaplah menjadi alat instrumental dan variabel akhir hayat ditiadakanlah adanya?

Yang hidup dalam keabadian dunia, yang hidup dalam semakin membesarnya kosmos setiap detik, untuk tidak pernah ada dalam satu tempat disebabkan sekelilingnya yang bergerak?

Cinta akan suatu aktivitas, cinta akan wanita, cinta akan alam, merupakan contoh-contoh hal yang sering dianggap remeh untuk dimiliki oleh para remaja, walau sesungguhnya itulah yang membedakan kita akan pendahulu kita.

Cinta manusia dibanding makhluk lain di dunia akan selalu lebih. Tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa cinta dan menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta. Anjing tidak akan pernah rela untuk kehilangan nyawanya demi cintanya akan majikannya. Manusia mati dalam perang demi cinta untuk negaranya.

Menelaah Hachiko yang rela mati menunggu majikannya di salah satu stasiun di Jepang, apa sesungguhnyakah itu cinta, apabila tidak ada di benak dia pilihan lain untuk melanjutkan kehidupannya? Hanya hasrat untuk dikasihsayangi dan diberi makanan sajalah yang membuat ia menunggu di stasiun itu.

Dikasihsayangi secara pasif tentu beda halnya dengan mencintai secara aktif. Hachiko hanya ingin kebutuhan jasmaninya terpenuhi dengan kehadiran sang majikan.

Bukan berarti iapun kemudian bisa diartikan sebagai yang rela tidak makan 3 hari 3 malam demi sebotol susu yang tiap hari harus dibeli majikannya untuk kebutuhan pertumbuhan bayinya.

Bukan berarti ia bisa diartikan rela memberikan tulang mainan kesayangan satu-satunya, berlari ke tempat yang sangat jauh dan mencium kening istrinya hanya untuk kembali lagi dan mengulang kegiatan memberikan tulang mainan kesayangannya tersebut.

Itu semuapun sudah dilakukan manusia.
Dari marathon yang berasal dari cerita seorang prajurit yang rela berlari lebih dari 42 km memberikan kabar bahwa pasukannya telah menang untuk kemudian merelakan dirinya.

Dari kisah seorang Polandia yang rela dipenjara demi menyelamatkan jutaan orang Yahudi musuh para Nazi ketika perang dunia kedua, atas nama cinta kepada sesama manusia.

Dari kisah 3 manusia yang rela berenang melewati air radioaktif di Chernobyl dengan tujuan memberhentikan kehancuran pembangkit tenaga nuklir, atas nama cintanya juga akan sesama manusia.

Dan kau, hanya bisalah menghujat temanmu yang tidak dapat move on dari sang mantan, menaifkan kenyataan bahwa cinta.... cinta adalah sesuatu hal yang sangat unik, yang hanya dimiliki oleh manusia, yang begitu kuat, yang begitu indah untuk dimiliki, dan yang begitu tepat rasanya untuk dibagi...

walau kepada sang mantan.

Rabu, 17 Agustus 2016

Kemunafikan Manusiawi

Kenapa harus bangga dengan sesuatu hal yang hanya kau sendiri yang mengerti dan memamerkannya secara arogan?

Bukankah pengajar yang intelek, yang benar-benar mengerti apa yang dia beri, adalah pengajar yang bisa dengan mudah mengajarkan?

Untuk rasa malu kepada malaikat yang melihat, untuk rasa sedih akan tertutupnya rasa ingin tahu, aku tulis sajak ini.

Sajak yang tak ada berat harafiahnya, yang kutulis sendiri tanpa orang di sekelilingku mengerti, penuh kemunafikan manusiawi.

Apa aku orang itu? Apa sesungguhnya dengan melihat orang lain begitu, seyogyanya itu adalah cerminan kelakuanku?

Ikebukuro
17 Agustus 2016

Senin, 27 Juni 2016

Aku merindukan malam itu

Aku merindukan malam itu dimana purnama memberi kilauan cahaya pada gelombang-gelombang pantai sembari meniup-niup pasir yang beterbangan

Aku merindukan malam itu dimana sensasi sentuh, persepsi jarak dan keseriusan duniawi hilang diambil alih oleh efek tumbuhan liar itu

Aku merindukan malam itu walau setidaknya aku tau ada tempat nan jauh di balik samudra biru itu yang selalu tak berubah dalam pelukan ombak

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang di sekelilingnya terlindung oleh benteng2 raja, rumah sang dewa agar teruslah lestari adanya

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang menguasai kesunyian ditemani oleh hijaunya pedesaan dan oleh indahnya pegunungan

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang namun juga menguasai keramaian ditemani oleh kentalnya budayamu dipadu oleh tequila mereka

Rabu, 01 Juni 2016

Koran pagi pada sore hari

Di dunia ini, persetanlah dengan harapan bahwa manusia akanlah mencapai kepuasan.

Hidupnya dilengkapi dengan orangtua yang menyayangi dirinya, namun selalu dianggap berisik.

Hidupnya dijalani dengan badan yang sempurna, namun selalu saja mencari alasan untuk berhenti berjalan.

Sekolah yang tinggi, selalu ingin menggapai yang lebih tinggi.

Keluarga yang sempurna, selalu mengandai-andaikan pasangan yang lebih menarik.

Ekonomi yang berkecukupan, selalu ingin berfoya-foya.

Dan pada akhirnya, sampailah ia pada suatu kesadaran bahwa dirinya sebenarnya ingin hidup tanpa batas, melainkan hidup selamanya.

Tidak sadarkah ia bahwa ia ingin lebih hanya untuk tidak menikmati yang ia selalu punya?

Yang ia selalu pegang, rasa & miliki hanya dilewatinya tanpa kenikmatan melainkan rasa kekurangan tanpa berkehabisan.

Oh manusia, mungkinkah evolusimu menghilangkan kebahagiaan yang telah lama dimiliki pendahulumu?

Dan lagi, apa manusia akan sesungguhnya hidup?

Hidup dalam artian sederhana tentu benar adanya.

Apabila hidup hanyalah dapat didefinisikan sebagai yang bernafas, yang tumbuh, yang bergerak, yang buang air, yang mempunyai reflek sentuh, yang dianggap ilmu pengetahuan sebagai hidup, tentu manusia benar hidup adanya.

Tetapi, apa manusia akan sesungguhnya hidup?

Akan sesungguhnyakah ia hidup, apabila ia lahir hanya untuk selalu memikirkan sesuatu yang ada setelah apa yang ada dalam masa kini, yang sekarang, yang sedang dialaminya?

Yang sekarang ia makan, ia harus bayar.

Yang sekarang ia minum, ia harus bayar.

Yang sekarang ia tanam, ia harus panen.

Apa justru selain cara ini, tidak bisakah ia hidup?

Hanya dengan cara inilah manusia bisa dikatakan hidup?

Di dunia kapitalisme anjing-anjing yang duduk dengan nyamannya di atas bangku yang terbuat dari tengkorak-tengkorak dan darah-darah yang jadi satu diblender, dibekukan dan diistirahatkan untuk menjadi bangku para tuna wisma, para miskin, para proletariat-proletariat 99 persen populasi yang ada di dunia?

Di dunia kapitalisme bajingan-bajingan yang bilang bahwa memang cara inilah yang paling tepat, yang bilang bahwa tidak ada cara yang lebih baik selain memeras susu ibu-ibu hamil yang diharuskan bekerja karena penghasilan suaminya yang pemulung tidak akan bisa mencukupi kebutuhan anaknya yang baru menginjakkan kakinya di kelas 3SD setelah menjajakkan koran pagi pada sore hari di perempatan jalan kota jakarta yang katanya ibukota itu?


Ruben
Tokyo, Juni 2016

Minggu, 08 Mei 2016

Sajak Swastika

Om swastiastu

Kupijakkan kaki di luar rumahku
Kuakan pergi tuk menemui dirimu
Pujaan hatiku, dambaan hasratku

Om swastiastu

Kuhanya bisa berdoa setiap hariku
Tuk dapat mengukir rasa dalam setiap tatapmu
Tuk bangun istana kecil dalam megahnya hatimu

Om swastiastu

Mungkin memang kau tak perluku setiap harimu
Tapi harapku, agar kau inginku dalam setiap diammu
Dalam setiap kata yang tak terucapmu
Dalam setiap senyum yang tak berimu

Om swastiastu

Apa diriku ada dalam setiap mimpimu?
Apa diriku ada dalam setiap langkahmu?
Untuk halku, kau telah melekat dalam lapisan-lapisan terdalam hatiku

Om swastiastu
Kata sapaan dalam agama Hindu
Om swastiastu
Betapa indahnya sapaan itu
Om swastiastu
Kerap dirimu dalam keadaan bahagia selalu

Om swastiastu
Kuakhiri coretan ini dengan sebekal anganku
Om swastiastu
Angan akan seutuhnya memilikimu
Om swastiastu
Tapi tak perlulah itu, asal kau beriku bahagiamu

Om swastiastu
Om santi santi santi om

Shinjuku
Mei 2016

Kamis, 05 Mei 2016

Sajak Kopi

Aku terbangun pada pagi ini dan langsung kubuat kopi pahit.
Aku harus bersiap pergi walau badan terasa sakit.

Tak ada yang boleh menghambat kepergianku karena ini untuk masa depanku.
Untuk apa aku rela jauh-jauh merantau kalau bukan untuk Indonesia negriku?

Kopi.. Kopi bisa saja hanya sebuah stimulan bagi semua asa dan semangat.
Tapi hanya dengan kopipun, semuanya takkan berarti tanpa adanya niat dan taat.

Satu sendok, dua sendok kopi yang kuserok, kupadu dengan gula secukupnya.
Sambil kutunggu air memanas, aku melihat berita pagi untuk tahu dunia dan sekelilingnya.

Teror, pemerkosaan, dan Trump terus mengisi laman Facebook-ku.
Hanya kesal dan miris yang bisa kutanam ini takkanlah berguna tanpa adanya gerakku.

Mungkinkah kopiku ini bisa kemudian berguna untuk memberikan semua orang tawa?
Ah mungkin aku hanyalah masih mengantuk, izinkan aku terlebih dahulu mengumpulkan jiwa.

Rabu, 27 April 2016

Iwo Jima, Prajurit Pengkhianat & Tuhan (Catatan Pinggir #2)

Saya baru saja menyelesaikan menonton film ‘Letters From Iwo Jima’, sebuah film yang berlatar perang dunia kedua di suatu pulau bernama Iwo Jima. Pulau ini merupakan pulau kunci untuk memasuki Jepang pada saat itu. Pasukan perang Amerika Serikat mengincar pulau ini untuk dijadikan markas angkatan perang para prajurit-prajuritnya.

Film yang disutradarai oleh Clint Eastwood ini dilengkapi dengan kisah-kisah menyedihkan namun inspiratif karakter-karakter di dalamnya. Secara apik, roman yang terkandung dalam setiap karakter dari film ini diungkap melalui flashback-flashback yang mempesona. Belum lagi menyebutkan pengambilan dan kualitas gambar yang memukau.

Saya terkesan pada satu aspek yang diangkat dalam film ini. Itu adalah pertengkaran batin seorang prajurit. Di balik pemikiran-pemikiran pribadi yang dimiliki seorang prajurit, dirinya telah bersumpah untuk selalu mengikuti atasannya. Adapun kisah dalam film ini mengenai dua orang prajurit yang melarikan diri dari suatu bukit. Kedua prajurit ini melarikan diri karena menyadari bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka apabila mereka menetap di bukit tersebut. Jumlah angkatan perang Amerika Serikat tidak memungkinkan bagi mereka untuk bisa selamat bila menetap disana. Sebelumnya, atasan mereka telah menyuruh mereka untuk berjuang di bukit itu sampai mati. Ketika kedua orang prajurit itu berhasil selamat dengan melarikan diri, atasannya itupun marah dan menganggap mereka pengecut serta pengkhianat negara. Atasannya itupun berniat untuk menembak mati kedua prajurit tersebut walau pada akhirnya dihentikan oleh sang komandan perang.

Dengan cerita ini, kita dapat mengambil poin yang penting walau ada sisi-sisi yang mempunyai argumennya masing-masing. Bila kita lihat dari kacamata kedua orang prajurit tersebut, tentu adalah hal yang rasional bila mereka melarikan diri. Setelah mereka melarikan diri, merekapun bisa membela negara lagi setelah selamat. Itu adalah persis kata-kata dari seorang prajurit kepada yang lainnya. Prajurit yang lainnya itu pada awalnya menegur untuk tidak mengabaikan perintah atasan dan menetap di bukit tersebut. Namun, prajurit yang ingin melarikan diri itupun mengajak prajurit yang lain itu untuk melarikan diri karena dengan begitu mereka akan bisa hidup dan akan terus bisa berjuang dengan pasukan utama. Mereka melarikan diri dan benar saja mereka selamat. Ini artinya adalah 2 orang prajurit tambahan untuk pasukan utama.

Namun, cerita ini belum selesai bila belum dilengkapi dengan perspektif sang atasan tersebut. Walau tidak secara tersurat diceritakan dalam sepenggal cerita ini mengenai strategi keseluruhan seorang komandan perang atau atasannya tersebut, namun izinkan saya menelaah apa yang mungkin menjadi pemikiran sang atasan itu. Dari sisi prajurit, memang hasilnya adalah 2 orang prajurit tambahan. Di sisi lain, bila 2 orang prajurit itu berjuang di bukit yang telah disebutkan itu sampai mati, kita tidak akan pernah tahu berapa banyak pasukan lawan yang bisa berkurang apabila 2 orang prajurit itu berjuang sampai mati. Bisa saja 5, 20, atau 100. Namun, tentu saja bisa 0 pula. Sang atasan menurut pemikiran saya, sudah seharusnya memikirkan hal ini. Mungkin sang atasan memutuskan untuk memberikan kesempatan pada kedua prajurit ini untuk berjuang sampai mati agar 5, 20 atau 100 prajurit lawan bisa terbunuh, tanpa mengurangi pertimbangan akan 0 prajurit lawan yang akan tumbang. Atasannya akan merasa terpenuhi apabila kedua orang prajurit ini mati tetapi telah memberikan jerih payah mereka membunuh pasukan lawan tak peduli apa hasilnya. Kedua orang prajurit inipun tentu akan gugur dalam hormat apabila itu yang terjadi. Ini adalah strategi perangnya mungkin. Namun, yang terjadi adalah mereka melarikan diri dari bukit tersebut dan tidak berjuang sampai mati disana.

Menurut saya, kisah ini sangat bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sering kita merasa suatu hal adalah yang paling baik, dan yang paling rasional tanpa mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, teman, ataupun orang yang mempunyai pengalaman yang lebih dari kita sekalipun. Kita harus menyadari bahwa mungkin saja ada sesuatu yang teman kita, atau orang yang mempunyai pengalaman lebih dari kita itu, ketahui. Contoh yang paling mudahnya adalah agama. Seorang pemeluk agama yang telah mengambil tanggung jawab untuk selalu menghormati Tuhannya akan selalu menaati perintah-Nya. Mungkin dalam hidupnya, ada pula beberapa hal yang terasa rasional untuk ‘melarikan diri dari bukit’ seperti yang dialami oleh kedua orang prajurit tersebut. Namun, Tuhan-pun mungkin sebenarnya memiliki tujuan yang lebih besar lagi untuk hidup seseorang tersebut apabila ia terus mengikuti perintah-Nya.

Baiklah, sebelum tulisan ini menjadi ceramah yang berkepanjangan, ada baiknya saya akhiri.

Tokyo, April 2016
Ruben

Jumat, 15 Januari 2016

Renungan Penghujung Sore

Ada yang bilang bahwa Jepang adalah negara yang sangat nyaman untuk ditinggali. Negara yang dalam jari-jemarinya terlintas kereta api dan bus-bus umum.
Dalam rentangan tangannya, terlintas jalan raya sampai ke pelosok desa.
Menyerupai pembulu darah manusia, menghubungi semua organ di tubuh dengan aneka ragam transportasi.
Seakan dirinya tahu bahwa manusia senang bepergian dan beraktivitas.

Ada juga yang bilang bahwa Jepang adalah negara yang berkebudayaan tinggi, toleran terhadap sesama.
Walau penduduknya homogen, seakan tidak miskinlah pengalamannya memberi warna pada arti kata toleransi.
Toleransi pada yang lebih tua. Toleransi pada wanita. Toleransi pada agama. Pun toleransi pada warga asing.
Seakan dirinya mengerti bahwa manusia senang diperlakukan baik oleh sesama.

Ada juga yang bilang bahwa Jepang teknologinya nomor satu. Dari robot yang bisa melantunkan lagu-lagu klasik dengan piano, tenaga nuklir, dan teknik daur ulang dalam dunia persampahan.
Seakan dirinya sadar bahwa manusia tak akan bisa bertahan di bumi tanpa teknologi yang mencukupi.

Namun, saya pikir tanah Jepangpun tak tahu.
Namun, saya pikir udara Jepangpun tak mengerti.
Namun, saya pikir air Jepangpun tak sadar.
Adalah manusianya yang melakukan ini semua!
Merancang dan membangun alat transportasi dan infrastruktur.
Menanam dan mengajar budaya toleransi lintas generasi.
Menganalisa dan mengembangkan teknologi.

Aku beruntung!
Aku beruntung karena sebenarnya Jepang itu maju karena manusianya.
Tidak ada mineral khusus di tanah Jepang yang menyebabkan Jepang itu maju adanya.
Tidak ada substansi khusus di udara Jepang yang menyebabkan Jepang itu intelek adanya.
Tidak ada elemen khusus di udara Jepang yang menyebabkan Jepang itu terdepan adanya.

Manusianya sama kok spesiesnya dengan manusia Indonesia.
Yang kita butuhkan adalah kesadaran dan tak malu untuk meniru Jepang.
Yang kita butuhkan adalah semangat untuk mengambil kebaikan Jepang.
Yang kita butuhkan adalah asa dan niat untuk menebarkan bibit-bibit Jepang.

Kebanyakan dari kita, beruntung bisa menuntut ilmu di Jepang.
Kebanyakan dari kita pula, mengagumi Jepang dengan sangat.

Namun, yang kita sering lupa adalah, syarat utama dari seseorang mengagumi sesuatu itu adalah bahwa seseorang itu harus skeptislah pula.
Sebagai manusia, sering kita mengagumi sesuatu dan membanding-bandingkannya dengan sesuatu yang lebih buruk, atau tidak sebaik dengan sesuatu yang pertama itu.
Namun, sebagai mahasiswa, saya mengajak anda untuk mengambil langkah tambahan.
Setelah mengagumi dan membandingkan, ada baiknya apabila kita cari letak kesalahan dari yang tidak baik itu dan mulai mencari solusi tentang bagaimana memperbaiki yang tidak baik itu agar menjadi lebih baik.

Dengan begitu, anda tidak hanya menjadi seorang pengagum yang sempurna, tapi anda juga akan menjadi agen perubahan yang sempurna.
Salam.

Ruben


Tokyo, Januari 2016

Rabu, 06 Januari 2016

The Prophet (Chapter: Marriage)

Love one another, but make not a bond of love:
Let it rather be a moving sea between the shores of your souls.
Fill each other’s cup but drink not from one cup.
Give one another of your bread but eat not from the same loaf.
Sing and dance together and be joyous, but let each one of you be alone,
Even as the strings of a lute are alone though they quiver with the same music. Give your hearts, but not into each other’s keeping.
For only the hand of Life can contain your hearts.
And stand together yet not too near together:
For the pillars of the temple stand apart,
And the oak tree and the cypress grow not in each other’s shadow.

-Khalil Gibran
(Born January 6, 1883)