Senin, 27 Juni 2016

Aku merindukan malam itu

Aku merindukan malam itu dimana purnama memberi kilauan cahaya pada gelombang-gelombang pantai sembari meniup-niup pasir yang beterbangan

Aku merindukan malam itu dimana sensasi sentuh, persepsi jarak dan keseriusan duniawi hilang diambil alih oleh efek tumbuhan liar itu

Aku merindukan malam itu walau setidaknya aku tau ada tempat nan jauh di balik samudra biru itu yang selalu tak berubah dalam pelukan ombak

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang di sekelilingnya terlindung oleh benteng2 raja, rumah sang dewa agar teruslah lestari adanya

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang menguasai kesunyian ditemani oleh hijaunya pedesaan dan oleh indahnya pegunungan

Aku merindukanmu hai pulau dewata, pulau yang namun juga menguasai keramaian ditemani oleh kentalnya budayamu dipadu oleh tequila mereka

Rabu, 01 Juni 2016

Koran pagi pada sore hari

Di dunia ini, persetanlah dengan harapan bahwa manusia akanlah mencapai kepuasan.

Hidupnya dilengkapi dengan orangtua yang menyayangi dirinya, namun selalu dianggap berisik.

Hidupnya dijalani dengan badan yang sempurna, namun selalu saja mencari alasan untuk berhenti berjalan.

Sekolah yang tinggi, selalu ingin menggapai yang lebih tinggi.

Keluarga yang sempurna, selalu mengandai-andaikan pasangan yang lebih menarik.

Ekonomi yang berkecukupan, selalu ingin berfoya-foya.

Dan pada akhirnya, sampailah ia pada suatu kesadaran bahwa dirinya sebenarnya ingin hidup tanpa batas, melainkan hidup selamanya.

Tidak sadarkah ia bahwa ia ingin lebih hanya untuk tidak menikmati yang ia selalu punya?

Yang ia selalu pegang, rasa & miliki hanya dilewatinya tanpa kenikmatan melainkan rasa kekurangan tanpa berkehabisan.

Oh manusia, mungkinkah evolusimu menghilangkan kebahagiaan yang telah lama dimiliki pendahulumu?

Dan lagi, apa manusia akan sesungguhnya hidup?

Hidup dalam artian sederhana tentu benar adanya.

Apabila hidup hanyalah dapat didefinisikan sebagai yang bernafas, yang tumbuh, yang bergerak, yang buang air, yang mempunyai reflek sentuh, yang dianggap ilmu pengetahuan sebagai hidup, tentu manusia benar hidup adanya.

Tetapi, apa manusia akan sesungguhnya hidup?

Akan sesungguhnyakah ia hidup, apabila ia lahir hanya untuk selalu memikirkan sesuatu yang ada setelah apa yang ada dalam masa kini, yang sekarang, yang sedang dialaminya?

Yang sekarang ia makan, ia harus bayar.

Yang sekarang ia minum, ia harus bayar.

Yang sekarang ia tanam, ia harus panen.

Apa justru selain cara ini, tidak bisakah ia hidup?

Hanya dengan cara inilah manusia bisa dikatakan hidup?

Di dunia kapitalisme anjing-anjing yang duduk dengan nyamannya di atas bangku yang terbuat dari tengkorak-tengkorak dan darah-darah yang jadi satu diblender, dibekukan dan diistirahatkan untuk menjadi bangku para tuna wisma, para miskin, para proletariat-proletariat 99 persen populasi yang ada di dunia?

Di dunia kapitalisme bajingan-bajingan yang bilang bahwa memang cara inilah yang paling tepat, yang bilang bahwa tidak ada cara yang lebih baik selain memeras susu ibu-ibu hamil yang diharuskan bekerja karena penghasilan suaminya yang pemulung tidak akan bisa mencukupi kebutuhan anaknya yang baru menginjakkan kakinya di kelas 3SD setelah menjajakkan koran pagi pada sore hari di perempatan jalan kota jakarta yang katanya ibukota itu?


Ruben
Tokyo, Juni 2016