Jumat, 31 Maret 2017

Manusia dan Ketidakpercayadirian Alaminya

Feeling insecure, atau yang bisa dalam bahasa Indonesia dikatakan sebagai ‘tidak percaya diri’, selalu melekat dalam diri manusia.

Manusiapun dapat memilih untuk kemudian menunjukkan rasa insecure itu ataupun mengendapnya dalam diri mereka masing-masing.

Merasakan insecure sangat wajar karena merupakan suatu fenomena yang natural bagi setiap makhluk hidup.

Makhluk hidup yang berevolusi wajib mempunyai karakteristik ini agar spesies mereka tidak terancam.

Sama prinsipnya dengan merasakan takut akan bahaya, seekor rusa akan waspada melihat sekelilingnya di savanah yang luas agar tidak diterkam singa secara diam-diam.

Begitu pula dengan segerombolan flamingo yang mengambil air dengan cungurnya di danau harus berantisipasi untuk kemungkinan adanya buaya yang menerkam dari dalam danau.

Pun begitu dengan manusia.

Merasakan kedinginan ketika sedang dalam cuaca yang dingin secara otomatis memberikan siasat kepada tubuh untuk menguras energi melawan dingin tersebut, atau sesederhana membuat mereka berpindah ke tempat yang lebih hangat.

Merasakan takut apabila memacu mobil hingga 200km/jam di jalan tol tanpa pengaman membuat mereka sadar dan teknologi seperti SRS airbag dan rem otomatispun diciptakan.


Layaknya sensor takut, manusia juga sudah pada hakikatnya secara alami merasakan ketidakpercayadirian (feeling insecure) itu.

Seorang model dapat merasa tidak percaya diri pada penampilannya walau banyak orang menganggap dirinya cantik.

Seorang yang obesitas dapat merasa tidak percaya diri pada berat badannya.
Itu semua memang secara alami pantas terjadi.

Manusia yang juga merupakan makhluk hidup yang hanya lebih unggul dalam hal evolusipun pantas merasakan ketidakpercayadirian itu.

Namun, yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya adalah bahwa manusia berbeda-beda dan komplekslah tingkat ketidakpercayadiriannya berdasarkan lingkungan di sekitarnya.

Wanita yang dilahirkan di Indonesia dengan salah satu persepsi kecantikan yang dibangun yaitu yang berkulit putih akan merasa insecure bila kulitnya tidak putih.

Berbeda dengan wanita yang dilahirkan di Swedia misalnya, dengan persepsi kecantikan yaitu yang kulitnya sedikit gelap atau tanned, akan merasa insecure apabila kulitnya terlalu putih atau pucat.

Yang patut ditegaskan disini adalah wajar seorang manusia merasakan ketidakpercayadirian itu, karena itu akan membuat mereka menjadi lebih baik (berdasarkan persepsi di lingkungan mereka).

Wanita Indonesia tadi akan mencari cara agar membuat kulitnya menjadi putih dengan memakai sabun pemutih misalnya, dan wanita Swedia tadipun akan membuat kulitnya menjadi lebih gelap dengan berjemur di pantai misalnya.

Manusia yang obesitaspun akan lebih mudah menurunkan berat badan apabila rasa tidak percaya diri itupun dipupuk.

Namun, apabila terlalu berlebihan juga akan merugikan si manusia tersebut.

Manusia yang berlebihan rasa insecurenyapun akan terus khawatir dan tidak percaya diri; ini dapat membuat mindset mendalam yang tidak akan membuat manusia itu bisa berkembang sebab manusia tersebut selalu merasa inferior.

Sama halnya dengan rusa dan juga flamingo.

Rusa akan tidak bisa beraktivitas apapun dan mati kelaparan karena tidak bisa mencari mangsanya sendiri oleh ketakutan yang menyelimuti.

Flamingopun akan mati kehausan karena terus khawatir buaya akan menerkamnya dari dalam danau ketika hendak minum air.

Sedikit lebih dalam, kitapun dapat menarik kesimpulan bahwa merasa tidak percaya diri itu penting, namun kita juga tidak boleh berlebihan merasa tidak percaya diri, harus with moderation.


Singkatnya, apabila kita melihat seorang manusia yang selalu percaya diri, kita patut mempertanyakan apakah dirinya benar-benar manusia.

Ketika kita mendengar seorang manusia yang selalu percaya diri dengan tafsir agamanya, kita patut mempertanyakan apakah dirinya betul-betul manusia.

Ketika kita melihat seorang manusia yang selalu percaya diri dengan korupsi dan mengambil uang rakyat, kita patut mempertanyakan apakah dirinya sungguh-sungguh manusia.

Ketika kita memperhatikan seorang manusia yang selalu percaya diri menjelek-jelekan orang lain tanpa melihat kebaikan yang dimiliki orang lain, kita patut mempertanyakan apakah dirinya seratus persen manusia.

Atau mungkinkah mereka manusia setengah dewa?


Dewa kotoran manusia.



Ruben

Kanagawa, April 2017

Kamis, 02 Maret 2017

Rumah

Menitpun berganti jam yang dengan cepatnya berkumpul menjadi hari.

Haripun berganti minggu yang dengan cepatnya bercengkerama menjadi bulan.

Kumpulan bulan itu, lepaspun tertawanya pada manusia goblok yang bingung akan sedikitnya sisa waktu dirinya di tanah kelahirannya.

Yang pada awal mula dirinya meninggalkan tanah dimana ia dilahirkan tak mengerti akan kerinduan yang akan ia rasakan di tanah milik orang lain.

Yang merasa senang-senang saja menempuh ilmu di negeri karaoke, bir-bir kelas dunia, dan kemerlap lampu malam yang mencahayai gedung prostitusi-prostitusi yang terkenal kemahirannya sampai ke pelosok-pelosok timur Papua sekalipun.

Untuk pada akhirnya beberapa tahun kemudian menyadari, bahwa Shinjuku, Shibuya dan Roponggi, tak kalah kerennya dibanding Jakarta, yang walau begitu banyaknya bangunan baja yang mengurangi lahan hijau ibukota yang sedang dalam proses penyembuhan, punya karakter tersendiri yang mampu membuat seorang mahasiswa S1, S2 ataupun S3 terdiam sejenak, merasa rindu yang mendalam akan 'rumah', itu.

Suasana ramai dipadu bau alkohol yang dengan setianya diselimuti uap kabut yang disemburkan anak-anak SMA dengan vape mereka, ataupun suasana hedonistik yang mengintimidasi dari atap suatu gedung bilangan pusat kota Jakarta, sampai suasana santai pinggir jalan selatan kota ditemani sate pedas bak Lucifer sendiri yang membuat saus sambalnya, menggambarkan satu bagian dari yang jutaan orang anggap 'rumah', itu.

Seluruh perpaduan itu, takkan ada artinya sebiji-biji beras pun, apabila diriku tak menyebutkan berbagai kecantikan wanita Indonesia yang bersatu di ibukota, yang dengan kota asal mereka yang bermacam-macam itupun rela meninggalkan 'rumah' mereka tuk tinggal di kosan yang kecil, yang mungil, demi mendapatkan rezeki yang halal maupun tidak halal dari bisnis toko online, jadi supir taksi online ataupun bekerja di panti pijit remang-remang sudut-sudut kota Jakarta yang pun juga mereka sudah sebut 'rumah', itu.

Kemudian, aku bertanya kepada diriku, seberapa bodohnyakah seorang manusia, yang rela kerja di negeri orang lain, menyenangkan bos-bos bangsa lain, yang dengan lugunya rela meninggalkan kenyamanan 'rumah', ketentraman 'rumah' itu?