Kamis, 02 Maret 2017

Rumah

Menitpun berganti jam yang dengan cepatnya berkumpul menjadi hari.

Haripun berganti minggu yang dengan cepatnya bercengkerama menjadi bulan.

Kumpulan bulan itu, lepaspun tertawanya pada manusia goblok yang bingung akan sedikitnya sisa waktu dirinya di tanah kelahirannya.

Yang pada awal mula dirinya meninggalkan tanah dimana ia dilahirkan tak mengerti akan kerinduan yang akan ia rasakan di tanah milik orang lain.

Yang merasa senang-senang saja menempuh ilmu di negeri karaoke, bir-bir kelas dunia, dan kemerlap lampu malam yang mencahayai gedung prostitusi-prostitusi yang terkenal kemahirannya sampai ke pelosok-pelosok timur Papua sekalipun.

Untuk pada akhirnya beberapa tahun kemudian menyadari, bahwa Shinjuku, Shibuya dan Roponggi, tak kalah kerennya dibanding Jakarta, yang walau begitu banyaknya bangunan baja yang mengurangi lahan hijau ibukota yang sedang dalam proses penyembuhan, punya karakter tersendiri yang mampu membuat seorang mahasiswa S1, S2 ataupun S3 terdiam sejenak, merasa rindu yang mendalam akan 'rumah', itu.

Suasana ramai dipadu bau alkohol yang dengan setianya diselimuti uap kabut yang disemburkan anak-anak SMA dengan vape mereka, ataupun suasana hedonistik yang mengintimidasi dari atap suatu gedung bilangan pusat kota Jakarta, sampai suasana santai pinggir jalan selatan kota ditemani sate pedas bak Lucifer sendiri yang membuat saus sambalnya, menggambarkan satu bagian dari yang jutaan orang anggap 'rumah', itu.

Seluruh perpaduan itu, takkan ada artinya sebiji-biji beras pun, apabila diriku tak menyebutkan berbagai kecantikan wanita Indonesia yang bersatu di ibukota, yang dengan kota asal mereka yang bermacam-macam itupun rela meninggalkan 'rumah' mereka tuk tinggal di kosan yang kecil, yang mungil, demi mendapatkan rezeki yang halal maupun tidak halal dari bisnis toko online, jadi supir taksi online ataupun bekerja di panti pijit remang-remang sudut-sudut kota Jakarta yang pun juga mereka sudah sebut 'rumah', itu.

Kemudian, aku bertanya kepada diriku, seberapa bodohnyakah seorang manusia, yang rela kerja di negeri orang lain, menyenangkan bos-bos bangsa lain, yang dengan lugunya rela meninggalkan kenyamanan 'rumah', ketentraman 'rumah' itu?

1 komentar:

  1. You may leave your home but your heart will always be here.

    Jangan lupa kembali dan bangun Indonesia
    Senyaman-nyamannnya kamu tinggal di negeri matahari itu, bau tanah indonesia pasti lebih menyenangkan
    (Karena semur jengkol lebih enak dibanding salmon sashimi :p )

    BalasHapus