Rabu, 08 Februari 2017

Surat untuk Oa

Oa,

Aku tidak tahu seberapa yang kamu tahu atau yang kamu tidak tahu dari lingkungan yang ada di sekitarku.
Akupun demikian.
Dari pembicaraan kita melalui telepon beberapa hari silam, agak bias untuk begitu saja memaksakan imajinasiku terhadap apa yang ada di sekitarmu.
Anggap aku manusia rendah imajinasi.
Anggap aku manusia minim antisipasi.

Yang aku tangkap adalah tetap melekatnya keceriaan dalam perkataanmu, kebahagiaan yang bertambah dalam intonasimu, namun kerinduan akan sesuatu yang aku kurang bisa pada saat ini mengerti.

Di dunia luar ini, ada banyak yang, aku anggap saja, menarik untuk dituliskan dalam buku memoir pengingat kejadian-kejadian secara pribadi ataupun publik.
Dari seorang tak bersalah yang kemudian harus dipenjarakan karena dituduh membunuh temannya dengan memasukkan sianida ke dalam segelas kopi Vietnam,
ke demo besar-besaran yang dilakukan pada tanggal 4 November silam karena seorang Kristen yang difitnah menistakan agama Islam oleh perkataannya,
ke pemilihan umum presiden Amerika Serikat yang sampai detik aku menulis surat inipun seorang yang dianggap rasis, kasar dan arogan dapat memimpin presentase pemenang pemilihan.

Tampaknya aku mulai mengerti mengapa dirimu ingin meninggalkan dunia nyata dan pergi untuk mencari jati diri yang asli di kesendirianmu dalam lingkungan yang baru.
Untuk kemudian mempelajari Bahasa Inggris di suatu tempat di pulau Jawa bagian Timur adalah suatu langkah yang jarang orang pikirkan untuk ambil.

Tentu seperti yang kamu katakan dalam pembicaraan kita di telepon pada saat itu, kamu belajar lebih banyak mengenai kehidupan sederhana yang kamu dapat alami secara langsung di sana.
tentang bagaimana seseorang dapat tinggal dalam suatu asrama yang ketat, yang hampir tidak ada kontak dengan dunia luar, yang mungkin merasakan kebahagiaan yang jauh lebih berarti ketimbang semua orang yang berpura-pura tertawa dalam kebahagiaan palsu di luar sini.

Sungguh aku mengagumi pilihan yang dirimu ambil.

Anggap aku pengecut, anggap aku penakut, yang belum bisa meninggalkan zona nyamanku di Tokyo, di Jakarta, di Bandung, di kota-kota besar lainnya dengan lampu-lampu kota, mesin-mesin mobil dan bangunan-bangunan tinggi yang senantiasa menyelimuti diriku dari jiwaku yang sesungguhnya.

Aku tidak seberani kau.
Aku tidak sebahagia kau.
Aku tidak sebijaksana kau.

Namun mungkin, aku ingin menjadi seperti kau.



Ruben Abdulrachman
Cikini, 9 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar