Senin, 13 Juli 2015

Ketidakpernahpuasan Manusia

Pulang dari kampus, mendapatkan tempat duduk di kereta pulang Rapid, sungguh hal yang seharusnya sangat menyenangkan diriku.

Tapi lain halnya dengan hari ini. Aku merasa hal itu adalah hal yang biasa. Aku merasa hanya itulah yang memang sudah sepantasnya aku dapatkan. Kereta dibuat dengan kursi di dalamnya hanya supaya aku bisa duduk di dalamnya. Persetan dengan orang lain yang tidak mendapat kursi. Biarkanlah aku nikmati kursi yang sungguh nyaman ini.

Dengan pemikiran alamiah seperti inilah, aku disadarkan bahwa sebenarnya bukan sistem sosial yang seperti apa yang selayaknya terus dikembangkan oleh manusia. Bukan sistem politik seperti apa yang selayaknya dianut suatu negara. Melainkan, hal yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran manusia adalah kesadaran bahwa manusia itu tidak pernah puas. Bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang ia punya, apa sistem sosial suatu negara yang ia tinggali itu jalankan. Manusia akan selalu melihat sisi apa yang sistem sosial tersebut tidak bisa berikan kepadanya, bukan apa yang sistem sosial di negara itu bisa jalankan. Theodore C. Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat pernah berkata, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country”. Jangan tanya apa yang negaramu bisa lakukan terhadap dirimu, tanya apa yang kamu bisa lakukan untuk negaramu.

Dimanapun itu, dengan sistem sosial apapun itu, di setiap sejarah perkembangan reformasi sosial manusia, pasti ada segelintir komunitas manusia yang tidak menyetujui apa sistem sosial atau sistem politik yang dijalankan oleh suatu negara itu. Ini adalah manusia-manusia yang menanyakan apa yang negaranya bisa lakukan untuk diri-diri mereka. Yang sebaiknya dilakukan adalah melihat ke cermin, dan mencari apa kelebihan-kelebihan diri kita yang kita bisa berikan kepada negara. Bila kita pandai berhitung dan menganalisa, mungkin bisa menjadi insinyur. Bila kita pandai dalam menghafal dan menentukan keputusan-keputusan yang tepat, layaknya kita menuntut ilmu agar bisa menjadi hakim di negara kita. Kebanyakan, yang lebih dominan terdapat  di atas muka bumi ini tentunya, adalah manusia-manusia yang mencari-cari hal yang negaranya dengan sistem sosial yang tidak sempurna itu tidak bisa berikan kepada diri-diri mereka.

Sistem sosial di negara yang menganut asas komunisme misalnya, dengan manusianya bekerja untuk mencapai kebaikan bersama, ada saja manusia yang tidak pernah puas karena merasa dirinya bekerja lebih banyak dibanding rekan kerjanya. Ketidakadilan jatah kerja inilah yang menjadikan segelintir umat manusia bisa membuat dirinya punya alasan untuk merasa sistem sosial komunisme adalah sistem sosial yang buruk, yang harus diperbaiki, yang menuntut adanya revolusi suatu negara. Ketidakpuasan manusia inilah yang justru sebenarnya menjatuhkan sistem sosial tersebut, bukan sistem sosialnya itu sendiri. Kesalahkaprahan yang normal. Kesalahkaprahan inilah yang ada di seluruh negara di muka bumi ini. Ada di negara-negara komunisme, dan juga ada di negara-negara kapitalisme.

Mirip halnya di negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme, bisa dengan mudah dilihat dari para buruh-buruh. Buruh-buruh, pekerja kantoran atau proletariat lainnya akan selalu merasa bahwa ada ketidakadilan karena apa yang dirinya telah ciptakan di pabrik langsung diambil dari dirinya dan hak miliknya dirampas oleh para penguasa yang menguasai pabrik tersebut. Para bangsawan dan manusia-manusia borjuis bisa dengan mudahnya menghilangkan hak-hak milik dari buruh-buruh tersebut, walau sebenarnya dalam sistem sosial kapitalisme itu, para penguasa itu telah dengan susah payah bekerja dari bawah untuk mencapai pada tingkatan itu. Di sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi ini saja, ada timbul alasan untuk membuat manusianya ingin melakukan revolusi. Merekapun tidak tahu sistem sosial apa yang pantas berjalan untuk negara tersebut tapi ingin melakukan revolusi.

Timbullah kemudian pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya: Apakah jalan revolusi selalu lebih baik? Jalan revolusikah yang paling sempurna? Apa karena tidak puas saja mau revolusi?

Kecenderungan ini sebenarnya bisa terlihat juga dengan manusia-manusia yang selalu saja memprotes dan mengkritik apa saja kebijakan pemerintah dan presidennya siapapun itu. Baru beberapa bulan atau tahun saja memimpin suatu negara langsung dikritik habis-habisan dan ingin menjatuhkan seorang presiden. Tidak sadarlah mereka akan pola diri mereka sendiri yang juga mengkritik presiden sebelumnya. Tidak sadarlah mereka bahwa perubahan itu butuh waktu. Apa penurunan suatu presiden akan membuat lebih baik? Presidennya ganti seribu-kalipun, saya tidak yakin tidak akan ada segelintir manusia yang ingin menjatuhkan presiden tersebut. Ini karena saya yakin bahwa tidak ada pemerintahan yang bisa berjalan lancar tanpa pemerintahan oposisi. Tapi tentu pada level-level yang normal, moderat dan terkontrol. Kritik-kritik perlu, tapi selayaknya diimbangi dengan toleransi-toleransi yang seimbang.

Balik ke argumen saya yang pertama. Bukan kepada sistem sosial atau politik suatu negaralah yang membuat perlu adanya perkembangan, melainkan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi tolak ukur perkembangan sistem sosial manusia.
Mungkin sudah saatnya kita melihat bukan hanya pada apa yang suatu sistem sosial tidak bisa berikan kepada kita, melainkan apa yang bisa suatu sistem sosial itu berikan kepada kita.

Bisa kita ambil contoh yang paling signifikan yaitu perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet Rusia. Perang ideologi yang sesungguhnya membuat kedua negara berkompetisi secara sehat inilah sudah jelas sekali contoh yang paling nyata bahwa ada ketidakpuasan manusia akan kedua sistem sosial tersebut. Kalau memang sudah merasa puas dengan salah satu sistem sosial, saya rasa tidak perlu hal ini dipermasalahkan, apalagi sampai memicu perang dingin. Kalau sudah bahagia dengan sistem sosial komunisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme. Begitu juga dengan sistem sosial kapialisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial komunisme, bukan begitu bukan?

Tentu memang, tidak ada darah yang tercucur dalam perang dingin, tapi jelas yang memicu ini adalah ketidakpuasan manusia. Dan tidak jarang pula kita lihat dari sejarah manusia bahwa banyak sekali darah yang telah bercucuran hanya karena ketidakpuasan manusia.

Bisa karena ketidakpuasan kelompok manusia akan agamanya masing-masing (perang agama), ketidakpuasan kelompok manusia akan batas negaranya (kolonialisme), ketidakpuasan kelompok manusia akan dominasinya di dunia (perang dunia), dll.
Jelas memang, perang dingin dimenangkan oleh Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisme-nya, namun sejarah belum berakhir selama manusia masih ada di dunia ini, selama manusia masih menjadi spesies yang paling dominan di atas muka bumi ini.

Mungkin sistem sosial manusia bisa maju. Kapitalisme dijalankan hampir di seluruh negara di muka bumi ini, dikurangi Rusia, Kuba dan Korea Utara tentunya. Walaupun begitu, yang menjadi permasalahannya adalah kecepatan evolusi otak manusia yang tidak sebanding dengan sistem sosial manusia itu sendiri. Pasti akan ada ketidakpuasan baru yang muncul seiring perkembangan zaman. Ini tentulah dikarenakan otak manusia dengan pemikiran sosialnya belum bisa berevolusi ke arah sistem sosial yang berlaku pada suatu zaman itu.

Sederhananya, sistem sosial kapitalisme tidak bisa dipungkiri memang yang menjadi sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi pada saat ini, tetapi  otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman sebelum revolusi industri. Otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman ketika hukum pancung atau hukum salib masih berlaku di Roma, misalnya. Otak manusia tidak bisalah berubah secara signifikan dalam tempo 2000 tahun itu. Lain dengan sistem sosial yang bisa sedemikian cepat berubah dalam waktu 2000 tahun, dari zaman Roma berkuasa, sampai zaman Amerika Serikat berkuasa; Amerika Serikat saja sekarang dalam tempo beberapa puluh tahun sehabis memenangkan perang dingin jatuh tersandung batu disalip Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang yang dulunya saingan yang dipandang sebelah mata. Sekarang, dari pandangan yang hanya sebelah mata tersebut, tidak disadari bahwa ada tangan besar yang siap memukul kepala Amerika Serikat yang sombong itu, bukan?

Saya hanya ingin menyimpulkan, baik sistem sosial apapun itu, baik sistem sosial komunisme, baik sistem sosial kapitalisme, baik sistem sosial sosialisme, Marhaenisme, ataupun negara-negara yang konstitusinya berdasarkan peraturan suatu agama, ataupun kerajaan-kerajaan, tidak akan pernah bisa berjaya selamanya tanpa menyadari bahwa ketidakpernahpuasan manusianya itu selalu ada. Toleransi akan manusia yang tidak pernah puas dan pentingnya menyadari bahwa tidak akan ada suatu sistem sosial yang bisa memenuhi semua kepentingan manusianya adalah yang terpenting, yang seharusnya menjadi titik berat bila kita membicarakan tentang sistem sosial di muka bumi ini.

Karl Marx dengan buku-bukunya yang brilian yang selalu mengkritik kapitalisme, saya rasa kehilangan hal yang terpenting yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran tentang sistem sosial manusia. Karakter alamiah manusialah yang menjadi masalah, bukan sistem sosial kapitalisme sendiri. Anggaplah buruh-buruh proletariat itu melakukan revolusi dari kapitalisme menjadi sosialisme. Selang puluhan tahun, tentu akan timbul keinginan untuk revolusi karena ketidaknyamanan sistem sosial sosialisme yang membuat adanya ketidakadilan antara manusia yang bekerja lebih dari manusia yang malas-malasan bekerja namun tetap mendapatkan hasil yang sama. Apa perlu revolusi lagi? Apa benar revolusi itu menjadikan sesuatu menjadi lebih baik?

Menurut saya, yang terpenting adalah penyadaran bahwa sistem sosial itu tidak akan pernah sempurna. Marilah mulai sekarang kita melihat apa yang sistem sosial itu bisa berikan kepada kita, bukan yang sistem sosial itu tidak bisa berikan kepada kita, dan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi acuan.