Rabu, 27 April 2016

Iwo Jima, Prajurit Pengkhianat & Tuhan (Catatan Pinggir #2)

Saya baru saja menyelesaikan menonton film ‘Letters From Iwo Jima’, sebuah film yang berlatar perang dunia kedua di suatu pulau bernama Iwo Jima. Pulau ini merupakan pulau kunci untuk memasuki Jepang pada saat itu. Pasukan perang Amerika Serikat mengincar pulau ini untuk dijadikan markas angkatan perang para prajurit-prajuritnya.

Film yang disutradarai oleh Clint Eastwood ini dilengkapi dengan kisah-kisah menyedihkan namun inspiratif karakter-karakter di dalamnya. Secara apik, roman yang terkandung dalam setiap karakter dari film ini diungkap melalui flashback-flashback yang mempesona. Belum lagi menyebutkan pengambilan dan kualitas gambar yang memukau.

Saya terkesan pada satu aspek yang diangkat dalam film ini. Itu adalah pertengkaran batin seorang prajurit. Di balik pemikiran-pemikiran pribadi yang dimiliki seorang prajurit, dirinya telah bersumpah untuk selalu mengikuti atasannya. Adapun kisah dalam film ini mengenai dua orang prajurit yang melarikan diri dari suatu bukit. Kedua prajurit ini melarikan diri karena menyadari bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka apabila mereka menetap di bukit tersebut. Jumlah angkatan perang Amerika Serikat tidak memungkinkan bagi mereka untuk bisa selamat bila menetap disana. Sebelumnya, atasan mereka telah menyuruh mereka untuk berjuang di bukit itu sampai mati. Ketika kedua orang prajurit itu berhasil selamat dengan melarikan diri, atasannya itupun marah dan menganggap mereka pengecut serta pengkhianat negara. Atasannya itupun berniat untuk menembak mati kedua prajurit tersebut walau pada akhirnya dihentikan oleh sang komandan perang.

Dengan cerita ini, kita dapat mengambil poin yang penting walau ada sisi-sisi yang mempunyai argumennya masing-masing. Bila kita lihat dari kacamata kedua orang prajurit tersebut, tentu adalah hal yang rasional bila mereka melarikan diri. Setelah mereka melarikan diri, merekapun bisa membela negara lagi setelah selamat. Itu adalah persis kata-kata dari seorang prajurit kepada yang lainnya. Prajurit yang lainnya itu pada awalnya menegur untuk tidak mengabaikan perintah atasan dan menetap di bukit tersebut. Namun, prajurit yang ingin melarikan diri itupun mengajak prajurit yang lain itu untuk melarikan diri karena dengan begitu mereka akan bisa hidup dan akan terus bisa berjuang dengan pasukan utama. Mereka melarikan diri dan benar saja mereka selamat. Ini artinya adalah 2 orang prajurit tambahan untuk pasukan utama.

Namun, cerita ini belum selesai bila belum dilengkapi dengan perspektif sang atasan tersebut. Walau tidak secara tersurat diceritakan dalam sepenggal cerita ini mengenai strategi keseluruhan seorang komandan perang atau atasannya tersebut, namun izinkan saya menelaah apa yang mungkin menjadi pemikiran sang atasan itu. Dari sisi prajurit, memang hasilnya adalah 2 orang prajurit tambahan. Di sisi lain, bila 2 orang prajurit itu berjuang di bukit yang telah disebutkan itu sampai mati, kita tidak akan pernah tahu berapa banyak pasukan lawan yang bisa berkurang apabila 2 orang prajurit itu berjuang sampai mati. Bisa saja 5, 20, atau 100. Namun, tentu saja bisa 0 pula. Sang atasan menurut pemikiran saya, sudah seharusnya memikirkan hal ini. Mungkin sang atasan memutuskan untuk memberikan kesempatan pada kedua prajurit ini untuk berjuang sampai mati agar 5, 20 atau 100 prajurit lawan bisa terbunuh, tanpa mengurangi pertimbangan akan 0 prajurit lawan yang akan tumbang. Atasannya akan merasa terpenuhi apabila kedua orang prajurit ini mati tetapi telah memberikan jerih payah mereka membunuh pasukan lawan tak peduli apa hasilnya. Kedua orang prajurit inipun tentu akan gugur dalam hormat apabila itu yang terjadi. Ini adalah strategi perangnya mungkin. Namun, yang terjadi adalah mereka melarikan diri dari bukit tersebut dan tidak berjuang sampai mati disana.

Menurut saya, kisah ini sangat bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sering kita merasa suatu hal adalah yang paling baik, dan yang paling rasional tanpa mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, teman, ataupun orang yang mempunyai pengalaman yang lebih dari kita sekalipun. Kita harus menyadari bahwa mungkin saja ada sesuatu yang teman kita, atau orang yang mempunyai pengalaman lebih dari kita itu, ketahui. Contoh yang paling mudahnya adalah agama. Seorang pemeluk agama yang telah mengambil tanggung jawab untuk selalu menghormati Tuhannya akan selalu menaati perintah-Nya. Mungkin dalam hidupnya, ada pula beberapa hal yang terasa rasional untuk ‘melarikan diri dari bukit’ seperti yang dialami oleh kedua orang prajurit tersebut. Namun, Tuhan-pun mungkin sebenarnya memiliki tujuan yang lebih besar lagi untuk hidup seseorang tersebut apabila ia terus mengikuti perintah-Nya.

Baiklah, sebelum tulisan ini menjadi ceramah yang berkepanjangan, ada baiknya saya akhiri.

Tokyo, April 2016
Ruben