Kamis, 31 Desember 2015

Tahun baru

Tahun baru.

Katanya.

Lembaran baru.

Katanya.

Halaman pertama dari buku setebal 365/366 halaman itu.

Katanya.

Judulnya bisa ditulis di awal, tengah, akhir atau tidak ada judulnya sama sekali.

Katanya.

Semua orang mendapatkannya.

Katanya.

Buku kenangan untuk satu tahun.

Katanya.

Semua punya alat tulisnya sendiri.

Katanya.

Pensil kenangan untuk satu tahun.

Katanya.

Dengan buku yang baru ini, seakan terhapus semua yang tertulis di tahun sebelumnya.

Katanya.

Seakan memulai dari yang baru lagi.

Katanya.

Seakan memulai dari yang segar lagi.

Katanya.


Tapi 'seakan' saja tidak akan cukuplah tentu.

Seakan-akan kau suka aku.

Seakan-akan aku punya uang yang ada di seluruh dunia ini.

Seakan-akan aku bisa memilih darj semua wanita yang ada di dunia ini.

Namun kau tahu, dan aku juga tahu, tidak bisalah semua dinilai dari semata-mata seakan-seakan.

Tidak bisalah interview kerja dinilai dari bagaimana seorang seakan-akan berkemampuan.

Tidak bisa pulalah seorang wanita menerima cinta sang pujaannya dengan bagaimana pujaannya itu seakan-akan bisa berkomitmen.

Walau seakan-akan lembaran baru; yang memang benar adanya; untuk berkata ini adalah buku baru tentu salah besar.

Walau seakan-akan lembaran baru; yang memang benar adanya; untuk berkata ini adalah bab yang baru saja belumlah otomatis.

Tahun baru adalah semata-mata titik dimana tahun berganti.

Satu waktu dimana ada batasan teknis umat manusia untuk menandai titik dalam garis kronologi waktu.

Kadang, untuk mengingat tanggal berapa saja dalam satu bulan kita suka lupa.

Kadang, untuk mengingat hari apa dalam satu minggu saja kita suka lupa.

Tahun tentulah wajib ditandai, kalau tidak, akan kesusahanlah kita menghitung hari dalam minggu, minggu dalam bulan, dan yang paling scientific adalah menentukan antara 365 hari tahun biasa atau 366 harinya tahun kabisat.

Susahlah apabila kita tidak mempunyai suatu angka yang menandai suatu tahun (2016 contohnya yang merupakan tahun kabisat).

Menandai suatu tahun yang isinya 365/366 hari inipun tentu umat manusia sadar harus menandai (karena alasan perlunya menyesuaikan revolusi bumi akan matahari 1 hari dalam 4 tahun).

Maka dari itu, belum tentulah tahun yang baru ini juga menandai masuknya bab baru dalam garis kehidupan manusia.

Bisa saja hanya ganti paragraf.

Bisa.

Bisa saja hanya ganti kalimat.

Bisa.

Bisa saja hanya ganti kata.

Bisa.

Apalagi yang hanya menjalani malam tahun barunya dengan tidur di rumah.

Sudah terlalu banyak resolusi-resolusi sosial media yang menyebutkan 'a new year, a new me'.

Itu semua omong kosong.

Diri seseorang bisa berubah dari setiap bulan.

Diri seseorang bisa berubah dari setiap minggu.

Diri seseorang bisa berubah bahkan dari setiap hari.

Tak perlu menunggu satu tahun untuk berubah.

Mari kita memperdalam makna pembaharuan dan evaluasi diri kita.

Kita tidak hanya bisa berubah hanya pda akhir tahun, bukan?

Resolusi tahunan hanya akan memberikan kita batasan kemampuan dalam satu tahun.

Berbeda halnya apabila kita melakukan secara rutin seperti resolusi bulan, minggu atau hari yang ukurannya jauh lebih kecil.

Jauh lebih kecil, tapi kita melakukannya 365 kali.

Yang menurut saya akan jauh lebih berarti karena bisa secara cepat dievaluasi.

Dan tentu perkembangannya terarah.


Untuk mengakhiri tulisan ini, sebenarnya akan seperti bertolak belakang apabila diakhiri dengan resolusi saya di tahun yang baru ini, bukan?

Tapi mungkin anda bisa mengerti.

Resolusi saya di tahun ke depan adalah untuk lebih bisa memperdalam makna dari resolusi itu sendiri dan akan melakukan resolusi bulanan, mingguan atau bahkan harian.

Happy new year 2016.


Tokyo, Jepang.

Senin, 05 Oktober 2015

Asa


Anehlah adanya.

Taklah berbentuk.

Tak juga berbau.

Wujudnya rapuh

Mudah tertiup angin.

Menyentuh tetes-tetes air.

Yang singgah di dedaunan itu.


Ia menempel kepadanya.

Ia pergi meninggalkannya.

Tanpa ketuk pintu.

Tanpa izin pamit.

Seperti layaknya manusia

Yang giat memupuk asa.

Untuk akhirnya sia-sia.


Cinta akan sesama.

Cinta akan rasa.

Cinta akan harta.

Semua ilusi belaka.


Tanpa cinta akan alam

Akankah esok melihat malam

Tanpa cinta akan dunia

Akankah esok ada cahaya.

Tanpa cinta akan lingkungan

Akankah esok ada kehidupan

Senin, 13 Juli 2015

Ketidakpernahpuasan Manusia

Pulang dari kampus, mendapatkan tempat duduk di kereta pulang Rapid, sungguh hal yang seharusnya sangat menyenangkan diriku.

Tapi lain halnya dengan hari ini. Aku merasa hal itu adalah hal yang biasa. Aku merasa hanya itulah yang memang sudah sepantasnya aku dapatkan. Kereta dibuat dengan kursi di dalamnya hanya supaya aku bisa duduk di dalamnya. Persetan dengan orang lain yang tidak mendapat kursi. Biarkanlah aku nikmati kursi yang sungguh nyaman ini.

Dengan pemikiran alamiah seperti inilah, aku disadarkan bahwa sebenarnya bukan sistem sosial yang seperti apa yang selayaknya terus dikembangkan oleh manusia. Bukan sistem politik seperti apa yang selayaknya dianut suatu negara. Melainkan, hal yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran manusia adalah kesadaran bahwa manusia itu tidak pernah puas. Bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang ia punya, apa sistem sosial suatu negara yang ia tinggali itu jalankan. Manusia akan selalu melihat sisi apa yang sistem sosial tersebut tidak bisa berikan kepadanya, bukan apa yang sistem sosial di negara itu bisa jalankan. Theodore C. Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat pernah berkata, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country”. Jangan tanya apa yang negaramu bisa lakukan terhadap dirimu, tanya apa yang kamu bisa lakukan untuk negaramu.

Dimanapun itu, dengan sistem sosial apapun itu, di setiap sejarah perkembangan reformasi sosial manusia, pasti ada segelintir komunitas manusia yang tidak menyetujui apa sistem sosial atau sistem politik yang dijalankan oleh suatu negara itu. Ini adalah manusia-manusia yang menanyakan apa yang negaranya bisa lakukan untuk diri-diri mereka. Yang sebaiknya dilakukan adalah melihat ke cermin, dan mencari apa kelebihan-kelebihan diri kita yang kita bisa berikan kepada negara. Bila kita pandai berhitung dan menganalisa, mungkin bisa menjadi insinyur. Bila kita pandai dalam menghafal dan menentukan keputusan-keputusan yang tepat, layaknya kita menuntut ilmu agar bisa menjadi hakim di negara kita. Kebanyakan, yang lebih dominan terdapat  di atas muka bumi ini tentunya, adalah manusia-manusia yang mencari-cari hal yang negaranya dengan sistem sosial yang tidak sempurna itu tidak bisa berikan kepada diri-diri mereka.

Sistem sosial di negara yang menganut asas komunisme misalnya, dengan manusianya bekerja untuk mencapai kebaikan bersama, ada saja manusia yang tidak pernah puas karena merasa dirinya bekerja lebih banyak dibanding rekan kerjanya. Ketidakadilan jatah kerja inilah yang menjadikan segelintir umat manusia bisa membuat dirinya punya alasan untuk merasa sistem sosial komunisme adalah sistem sosial yang buruk, yang harus diperbaiki, yang menuntut adanya revolusi suatu negara. Ketidakpuasan manusia inilah yang justru sebenarnya menjatuhkan sistem sosial tersebut, bukan sistem sosialnya itu sendiri. Kesalahkaprahan yang normal. Kesalahkaprahan inilah yang ada di seluruh negara di muka bumi ini. Ada di negara-negara komunisme, dan juga ada di negara-negara kapitalisme.

Mirip halnya di negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme, bisa dengan mudah dilihat dari para buruh-buruh. Buruh-buruh, pekerja kantoran atau proletariat lainnya akan selalu merasa bahwa ada ketidakadilan karena apa yang dirinya telah ciptakan di pabrik langsung diambil dari dirinya dan hak miliknya dirampas oleh para penguasa yang menguasai pabrik tersebut. Para bangsawan dan manusia-manusia borjuis bisa dengan mudahnya menghilangkan hak-hak milik dari buruh-buruh tersebut, walau sebenarnya dalam sistem sosial kapitalisme itu, para penguasa itu telah dengan susah payah bekerja dari bawah untuk mencapai pada tingkatan itu. Di sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi ini saja, ada timbul alasan untuk membuat manusianya ingin melakukan revolusi. Merekapun tidak tahu sistem sosial apa yang pantas berjalan untuk negara tersebut tapi ingin melakukan revolusi.

Timbullah kemudian pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya: Apakah jalan revolusi selalu lebih baik? Jalan revolusikah yang paling sempurna? Apa karena tidak puas saja mau revolusi?

Kecenderungan ini sebenarnya bisa terlihat juga dengan manusia-manusia yang selalu saja memprotes dan mengkritik apa saja kebijakan pemerintah dan presidennya siapapun itu. Baru beberapa bulan atau tahun saja memimpin suatu negara langsung dikritik habis-habisan dan ingin menjatuhkan seorang presiden. Tidak sadarlah mereka akan pola diri mereka sendiri yang juga mengkritik presiden sebelumnya. Tidak sadarlah mereka bahwa perubahan itu butuh waktu. Apa penurunan suatu presiden akan membuat lebih baik? Presidennya ganti seribu-kalipun, saya tidak yakin tidak akan ada segelintir manusia yang ingin menjatuhkan presiden tersebut. Ini karena saya yakin bahwa tidak ada pemerintahan yang bisa berjalan lancar tanpa pemerintahan oposisi. Tapi tentu pada level-level yang normal, moderat dan terkontrol. Kritik-kritik perlu, tapi selayaknya diimbangi dengan toleransi-toleransi yang seimbang.

Balik ke argumen saya yang pertama. Bukan kepada sistem sosial atau politik suatu negaralah yang membuat perlu adanya perkembangan, melainkan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi tolak ukur perkembangan sistem sosial manusia.
Mungkin sudah saatnya kita melihat bukan hanya pada apa yang suatu sistem sosial tidak bisa berikan kepada kita, melainkan apa yang bisa suatu sistem sosial itu berikan kepada kita.

Bisa kita ambil contoh yang paling signifikan yaitu perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet Rusia. Perang ideologi yang sesungguhnya membuat kedua negara berkompetisi secara sehat inilah sudah jelas sekali contoh yang paling nyata bahwa ada ketidakpuasan manusia akan kedua sistem sosial tersebut. Kalau memang sudah merasa puas dengan salah satu sistem sosial, saya rasa tidak perlu hal ini dipermasalahkan, apalagi sampai memicu perang dingin. Kalau sudah bahagia dengan sistem sosial komunisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme. Begitu juga dengan sistem sosial kapialisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial komunisme, bukan begitu bukan?

Tentu memang, tidak ada darah yang tercucur dalam perang dingin, tapi jelas yang memicu ini adalah ketidakpuasan manusia. Dan tidak jarang pula kita lihat dari sejarah manusia bahwa banyak sekali darah yang telah bercucuran hanya karena ketidakpuasan manusia.

Bisa karena ketidakpuasan kelompok manusia akan agamanya masing-masing (perang agama), ketidakpuasan kelompok manusia akan batas negaranya (kolonialisme), ketidakpuasan kelompok manusia akan dominasinya di dunia (perang dunia), dll.
Jelas memang, perang dingin dimenangkan oleh Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisme-nya, namun sejarah belum berakhir selama manusia masih ada di dunia ini, selama manusia masih menjadi spesies yang paling dominan di atas muka bumi ini.

Mungkin sistem sosial manusia bisa maju. Kapitalisme dijalankan hampir di seluruh negara di muka bumi ini, dikurangi Rusia, Kuba dan Korea Utara tentunya. Walaupun begitu, yang menjadi permasalahannya adalah kecepatan evolusi otak manusia yang tidak sebanding dengan sistem sosial manusia itu sendiri. Pasti akan ada ketidakpuasan baru yang muncul seiring perkembangan zaman. Ini tentulah dikarenakan otak manusia dengan pemikiran sosialnya belum bisa berevolusi ke arah sistem sosial yang berlaku pada suatu zaman itu.

Sederhananya, sistem sosial kapitalisme tidak bisa dipungkiri memang yang menjadi sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi pada saat ini, tetapi  otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman sebelum revolusi industri. Otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman ketika hukum pancung atau hukum salib masih berlaku di Roma, misalnya. Otak manusia tidak bisalah berubah secara signifikan dalam tempo 2000 tahun itu. Lain dengan sistem sosial yang bisa sedemikian cepat berubah dalam waktu 2000 tahun, dari zaman Roma berkuasa, sampai zaman Amerika Serikat berkuasa; Amerika Serikat saja sekarang dalam tempo beberapa puluh tahun sehabis memenangkan perang dingin jatuh tersandung batu disalip Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang yang dulunya saingan yang dipandang sebelah mata. Sekarang, dari pandangan yang hanya sebelah mata tersebut, tidak disadari bahwa ada tangan besar yang siap memukul kepala Amerika Serikat yang sombong itu, bukan?

Saya hanya ingin menyimpulkan, baik sistem sosial apapun itu, baik sistem sosial komunisme, baik sistem sosial kapitalisme, baik sistem sosial sosialisme, Marhaenisme, ataupun negara-negara yang konstitusinya berdasarkan peraturan suatu agama, ataupun kerajaan-kerajaan, tidak akan pernah bisa berjaya selamanya tanpa menyadari bahwa ketidakpernahpuasan manusianya itu selalu ada. Toleransi akan manusia yang tidak pernah puas dan pentingnya menyadari bahwa tidak akan ada suatu sistem sosial yang bisa memenuhi semua kepentingan manusianya adalah yang terpenting, yang seharusnya menjadi titik berat bila kita membicarakan tentang sistem sosial di muka bumi ini.

Karl Marx dengan buku-bukunya yang brilian yang selalu mengkritik kapitalisme, saya rasa kehilangan hal yang terpenting yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran tentang sistem sosial manusia. Karakter alamiah manusialah yang menjadi masalah, bukan sistem sosial kapitalisme sendiri. Anggaplah buruh-buruh proletariat itu melakukan revolusi dari kapitalisme menjadi sosialisme. Selang puluhan tahun, tentu akan timbul keinginan untuk revolusi karena ketidaknyamanan sistem sosial sosialisme yang membuat adanya ketidakadilan antara manusia yang bekerja lebih dari manusia yang malas-malasan bekerja namun tetap mendapatkan hasil yang sama. Apa perlu revolusi lagi? Apa benar revolusi itu menjadikan sesuatu menjadi lebih baik?

Menurut saya, yang terpenting adalah penyadaran bahwa sistem sosial itu tidak akan pernah sempurna. Marilah mulai sekarang kita melihat apa yang sistem sosial itu bisa berikan kepada kita, bukan yang sistem sosial itu tidak bisa berikan kepada kita, dan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi acuan.

Jumat, 12 Juni 2015

Death Penalty Justification in a Capitalistic System: Do’s & Don’ts


By: Ruben Abdulrachman
This is an essay analyzing about the prison systems taking place in capitalistic countries and how death penalty is still applied in some of them, by using Karl Marx and Michel Foucault’s arguments. My arguments will be based on Karl Marx and Michel Foucault to justify why prisons are the way they are in the current world. It will then lead to the analysis of death penalty and how death penalty is supposed to be conducted.
At first, we will talk about Emile Durkheim and how he linked that prisons’ systems are very much related to the progress in society. He thought that at first society was feudal, primitive, and therefore a more well-known term of his, ‘mechanical’ society took place.[1] Small numbers of individuals lived in this kind of societies and they were living based on similiarities and also had an extremely punitive pshycological disposition. Any criminal regardless of their crime was to be punished by the guards in a painful, humiliating punishment of which the purpose is to demoralize crime and to take away one’s dignity. Durkheim was supporting the role of punishment to the extend that it reinforces the wider constructions of morality and social cohesion. Punishments were extremely severe and offenders were executed in the most awful ways imaginable.
He thought that with the advancement in science & tehnology, society also progresses and this leads to the other type of society which are the ‘organic’ societies. These societies are heterogeneous, featuring a specialization of tasks and recognition of diversity and mutual interdependence. In a more secure society, punishments become less severe. The current system of prisons is controlled by a certain set of law and regulations that are different from country to country. These punishments are unavoidable and everyone is of equal rights under the law. Most societies in our current world are of ‘organic’ societies since law is practiced everywhere in the world; be it international laws, national laws, or laws reached by democracy or based on religions.
By Marx’s argument also, in a capitalistic society, law and punishment stands. This however, comes with their own special approach. The role of profit and money has to exist in order for one rule to stay and thrive. Some capitalistic countries for example, might be very explicit in showing that prisons are a money source by making the prisoners work as inmate labors. Although they are protected by the Geneva Convention, a World Rights organization that states that prisoners may not do work against their will, still, the tendency that prisons ask their prisoners to work is of capitalistic motives. The types of punishments that the prisoners experience are also the less severe ones, as Marx would argue, that these punishments are the ones that don’t spend a lot of money to conduct. These prisons focus more on the profits that these inmate labors can make: rather then the increase in their punishments’ severity; or any human rights’ reasoning in mind.
There are also capitalistic countries however, that don’t apply this system to their prisoners (inmate labors). This then can be explained by the French philosopher Michel Foucault [2]. Foucault argued that prisoners are only making better criminals. He says that in prison, a small of group of the most frequent victims of most everyday crimes can be controlled, kept under surveillance, and thoroughly known. This will lead to the betterment of technique for these criminals. All of them will sum up the economic profit in the realm of prostitution, drug-trafficking, etc. There will also be the political profit in the fact that if there are more criminals, there will also be higher acceptance towards police controls. 
By using these two people’s arguments, we can clearly see how prisons can stay and thrive in any capitalistic society. Either making their prisoners work or not, the amount of profits that they give is reason enough to create more and more prisons. Not to mention, privatizing prisons is a big thing in the US. The GEO Group, a private company that has facilities for maximum, medium and minimum security prisons claimed $115 million in profits on $1.52 billion in revenue in 2013.[3] We can really see that it is a real big business, although it is only one part of the story talking about the capitalization of prisons. The other part to it is that the number of criminals is also increasing every second and the data shows that within three years of release from prison, 70% of all prisoners return. We can imagine prisons being restaurants that have a 70% return rate from its customers. These customers are not only giving profits inside the restaurant, instead they also make economical profits both inside and outside the restaurants according to the integration of Marx and Foucault’s arguments.
There is actually another big thing that has to be taken into consideration if we are putting this topic to the table. It is the role of mafia in the capitalistic society. Since talking about mafia will be of a whole different essay, we would not deeply analyze the significant role of mafia in some countries. In some capitalistic countries, mafia is the one taking responsibilities in areas such as drug-trafficking and prostitution. It is of public secret that mafia coexists in the capitalistic society. By intuition alone, we know that prostitution and drug-trafficking are huge businesses. And the mafia is making a lot of money out of these. Prostitution and drug-trafficking businesses that don’t want to / can’t give a significant amount of money to the mafia will then be taken to the police. It is as though the mafia is working as a shield from the police. If these businesses fail to give a significant amount of money, to prisons they go. This circle of businesses in the capitalistic society is an unsolvable trouble, yet we are so used to it that it is widely acceptable in every capitalistic citizen’s minds.
Going through a deeper analysis on prisons, we then will ask how the death penalty can stay and thrive in a capitalistic society. It is true though, that there is no need for the government to care about human rights in a capitalistic society. We can also see however, that it has little economic benefits that can be taken into account, at least in the surface. The criminals executed will not be more-skilled criminals and they will also not be able to make others be one, as they would be already executed. This however, is not the only perspective that death penalty can bring to the capitalistic scaling machine.
There are several factors that can make the death penalty economically beneficial. The first potential benefit is reduced crowding. This is quantified by calculating the amount of incarceration costs that would be spent had not the sentenced criminal been executed. A research study has been done in the US for this matter. In the study, only 1.2% of the 2,575 convicted criminals in 1992 were actually executed. Taking the annual incarceration costs to be $17,957 and the life expectancy of a prisoner is 40 years in prison, the total costs of reduced crowding would be $12,452,130 when discounted at 3% over 40 years ($415,071 per inmate)[4]. This benefit however, has to also be carefully considered together with the fact that there are costs such as forgone output that criminals other than inmates on a death row could have given such as work that will produce a significant amount of money. [*capital inmates are not allowed to work due to safety reasons.]
The second potential benefit is nonuse values. These values are those made by a third party; not by the two parties which are the government and the prisoners. The third party in this case is to be represented by the proponents of death penalty. The people who are supporting the death penalty will help the death penalty to thrive by giving money for the advancement of the system. In the United States, 80% of the 250,000,000 citizens of the US are death penalty proponents, and if each person is to pay $1, the money collected will amount to $200,000,000. Although we don’t go around seeing people giving money for the death penalty to thrive, this economical profit has to be taken into consideration due to its significant potential and the striving ideology of democracy. We also then need to account for the opponents of death penalty. 20% of the 250,000,000 US citizens will give $50,000,000 if each person is to pay $1. The economical profit is calculated at $150,000,000. It is very true that this value differs according to the ratio of the proponents and opponents of death penalty and also the human population in a country. Regarding to this fact, the death penalty can then be concluded to be beneficial in a country and not in another.
The third potential benefit that death penalty can bring is detterence. It is though, undeniably hard to quantify the dettered effect of death penalty. I hardly found any research that concludes  that death penalty’s detterence rate is significant enough to keep death penalty as a punishment. Some studies even show that there is no relationship between the conduct of death penalty and the murder rates in any particular region. Considering it only from the relationship between the death penalty and the murder rate however, is a narrow perspective. We can also analyze the benefit in terms of prevention of future potential disadvantage. If a series killer by the rate of 1 murder in 1 year is to be executed, then the future victims that are to be killed within the killer’s life expectancy after the killer is arrested, should be counted as a saved loss; therefore profit in economy. We can also take average of the future victims’ wages/incomes and multiply them by the number of predicted future victims. Although this problem can be solved just to give the murderer a life sentence, the death penalty also gets rid of the problem and therefore the economical profit should be calculated similarly. For significant purposes we should get rid of mass and spree killers, while only taking into account serial killers which are the most constant. The average age of the general serial killers in the US is 28.73 (29) [5], while the average time between sentencing and execution is 190 months (16 years) [6]. These facts give information that the death row inmates are on average to be executed at 45 years of age. Taking the life expectancy to be 74 [7], the average number of lifes that is saved is at 29 (rate of 1 murder per year). We can then multiply this number with the mean income in the US which is $44,888 [8]. The value adds up to $1,301,752 saved loss (profit) for every capital inmate put to life sentence / death penalty. The value multiplies for every serial killer caught and executed.
We have learned that death penalty can be very beneficial for a capitalistic country as for three reasons: reduced crowding, nonuse values, and also detterence rate.
Just to also limit the death penalty only to murders/killings as a violation in law however, there is a fallacy. For other major violations such as drug-trafficking, it still remains a highly blurry topic due to the hardness of relating the death penalty to the detterence (reduced drug users / drugs-related deaths) that it actually gives. An acceptable scientific research data is needed to calculate the detterence effect of death penalty of any violation: murder, drug-trafficking, political offense or any major violation.
In a current world that we live in, any country has the freedom to make its own laws & regulations due its sovereignity as a nation added also by the undeniable victory of liberal democracy as the triumphing ideology. Since death penalty is not supported by any human rights movement, the only way to make death penalty an acceptable punishment is either a religious or a capitalistic one. The religous approach however, will not be considered in this essay due to simplicity purposes.  The combination of these three factors: reduced crowding, nonuse values, and deterrence effect should be the primary factors to be considered in order to decide whether or not death penalty is acceptable to be conducted in a country. Having not calculated these three factors transparently, a country violates the rule of capitalistic ideology; in other words, bad business.
Interestingly enough in Indonesia from 2013-2015, 16 out of 19 death penalty executions were caused by drug-trafficking, the rest being for murders. The current president stated that he would not give any future clemencies for violations in drug trafficking as the data states that 40-50 people die each day from drug-related reasons (18,000 people a year). Now, he said, Indonesia is facing what he calls as a ‘drug crisis’. This motive is a definite capitalistic motive as the reasoning behind the ‘no clemency’ policy is to save lives in the future, to save loss economic benefits that Indonesia potentially gets in the future, therefore to make profit in economy. Needless to say, a ‘crisis’, in this sense, has a literal economic meaning after all. This however, is acceptable only if the data obtained has a scientific approach at the very least, which is clearly analyzed to have been faulty. [9]
In conclusion, in order for a country to conduct a death penalty or make any kind of law or regulation that punishes its citizens, the only two possible options to base it on are capitalistic calculation (that is, the profit and loss calculation) and also not to forget, the religious motives. Emile Durkheim thinks that the current society that we live in today is of ‘organic’ societies. In consequence, the punishments that are conducted to its citizens should be the less severe ones. I think that no punishment is more severe in the current society than to be executed from the conclusion of a set of  false data, or even without getting to know the actual reason why a person had to be put to prison in the first place. The reason could be as controversial as Michel Foucault who was once interviewed to say that prisons exist just to make higher-skilled criminals in a similar fashion such as schools and hospitals, or the reason could be as simple as Karl Marx that suggests that prisons have to be economically beneficial to be put in the law of a capitalistic country (by making prisoners work, etc). If then death penalty is conducted in a country without any transparent, scientific capitalistic reasoning or religious motives behind it, then a country is said to go back to what Durkheim had said to be ‘mechanical’ societies.













References:






Kamis, 04 Juni 2015

Aneh


Hari ini aku ada kelas mulai pukul 10:40 di kampus. Walaupun begitu, aku sampai di kampus pukul 9:15. Ada yang aneh dengan diriku hari ini. Aku ingin berangkat lebih awal. Mungkin ini karena aku hanya ingin makan pagi bersama keluarga kosku, atau juga aku mau lebih tenang sebelum memulai pelajaran hari ini, atau mungkin juga aku tidak memikirkan keduanya.  

Aku seakan membuat diriku melakukan rutinitas hidupku dalam autopilot. Dari tanggungjawab sebagai anak, sebagai mahasiswa, sebagai koordinator PPI, sebagai pembantu di gereja. Aku merasa semua itu tak ada artinya. Aku jalani sedemikian rupa sehingga terasa seperti itu adalah hal yang harus aku lakukan. Aku harus melakukan hal-hal itu tanpa memikirkan ada tidaknya inti di baliknya semua. Ada tidaknya makna di balik itu semua.

Aneh diriku hari ini. Apa sudah seharusnya aku melakukan ini semua tanpa mencari makna? Apa sesungguhnya ada tapi karena terlalu seringnya kulakukan rutinitas ini semua menjadi hampalah maknanya?

Walau begitu, yang lebih anehnya lagi dibanding keanehan diriku hari ini adalah: aku mengerti aku memang belum bisa mengambil makna dari mengapa aku harus melakukan ini semua, tetapi aku bisa melihat kekosongan makna dari apa yang aku lakukan diluar hal-hal yang menjadi tanggung jawabku.  Karena aku sudah berkomitmen untuk menjadi anak yang baik, menjadi mahasiswa yang produktif, menjadi koordinator PPI yang mendengarkan dan menjadi pembantu gereja yang setia, aku harus melakukan tanggung jawabku tersebut. Beda halnya dengan menanyakan mengapa aku mau mengambil komitmen tersebut, tentu.

Mungkin ini yang juga dirasakan banyak salaryman-salarywoman yang ada di sekitarku ketika aku naik kereta pagiku ke kampus. Mungkin ini yang juga dirasakan salaryman-salarywoman yang ada di sekitarku ketika aku naik kereta malamku ke rumah. Walau tentu batasan duniawinya dan ideologi kapitalis mengharuskan mereka untuk mengambil komitmen itu dan menghasilkan penghasilan, tapi apa benar lalu alienation yang disebutkan Karl Marx sudah dalam hakikatnya dan tidak bisa dihindari lagi akan terjadi, memakan jiwa mereka secara perlahan, mematikan otak mereka untuk memikirkan ide-ide kebebasan?

              Semoga walau salaryman adalah jalan yang paling jelas di depan mataku, aku tidak akan pernah lupa kalau aku adalah manusia yang bebas pula, manusia yang bisa menghindari alienation-alienation yang seakan diprediksikan terjadi dalam jiwa raga seorang proletariat.


Tokyo 2015

Minggu, 01 Maret 2015

Undeveloped theory of mine

As obvious as it is, might intelligence of humans be too evolved that it's actually not the optimal strength for species survival?

If so, then such thing as optimal intellectual level of a living thing might exist.

Lack of balance in intelligence and emotional ego leading to the making of nuclear weapons, world wars and global warming, dare I say, are leading us to extinction; in this planet, at the very least.

Stephen Hawking said that our existence in planet earth might be less than 200 years if we keep doing things that are endangering us.

If we go on and carry the assumption that there is an intellectual limit, an encounter with other living things in this universe, or any other universe, would be of the impossible, for one has to be equally intelligent in emotional ego to prevent long-span, slow but certain, self-extinction.

This therefore, can be self-explanatory why aliens or such things never came to our planet and tried to communicate with us, for they would have been extinct before they managed to do that.

Are we really up and ready to break my theory?

Only time will tell.

Rabu, 11 Februari 2015

The Tourist

Two days ago, a traveller friend from Indonesia visited Tokyo.

I was very happy of course, to welcome him and show him around town.

As a tourist, he traveled Nagoya before coming to Tokyo.

Having asked me, I answered lightly "I've never been there."

I asked to myself if I was disappointed of that fact.

And the answer was surprisingly a negative.

No, I wasn't disappointed I'd never been to Nagoya.

After quite a thought though, I made a hypothesis about where my feelings were headed to at that moment in time.

I realized after years spent in Japan as a student, I forgot one of the factors why I decided to come to study in Japan in the first place; although maybe subconsciously.

The rich culture and tradition in every other prefecture might have been it.

The absence of a trip to the prefecture famous for their unagi or eel is of no bother to me.

In a smaller scale, I also realized after some time spent in Tokyo as a student, I forgot how I had actually been living in the biggest metropolis of Asia!

The absence of just enjoying the view or experiencing new things in big stations around Tokyo area is not, in the slightest, of any bother to me.

Being a tourist for the countless time in Tokyo, I came about rediscovering how the metropolis was an awesome region with unique city characteristics in almost every other station.

Those stations are well-connected though, through 3 major train companies; JR (Japan Railways), Tokyo Metro & Toei Subway.

I enjoyed Tokyo in a different way than I usually did.

I was a tourist in Tokyo.

A simple mindset change, yet that's all what jt takes, really.

To know how that switch could actually turn me into a far more grateful person was an amazing experience.

We went to enjoy Harajuku to just walk, chill and eat at Hanamaru Udon on the infamous Takeshita Street.

Went to the Meiji Shrine to experience the way the Japanese search for their inner peace once more.

Went to Yoyogi Park just to walk around and talk at one of the benches in its central area.

Went to Shibuya walking to get a view of the way's surroundings, ate some fresh sushi at Genki Sushi, crossed the Shibuya crossing and went to look the simplicity of quite a meaningful Hachiko statue.

For short, in those two days, I enjoyed Tokyo more than in the past year or so.

This would never happen, at least just by my own means, if I had been having a student's mindset.

Well, I'm just feeling grateful of Tokyo;)

Kamis, 29 Januari 2015

Catatan Pinggir #1 (Penjajahan)

Susah rasanya menyamakan negara yang aku tinggali sekarang dengan negara dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.

Infrastrukturnya lebih maju, budaya dan pendidikannya lebih teratur, pun kesehatan politiknya terjaga.

Itu memang tidak bisa dipungkiri lagi.

Dan banyak orang akan bilang bahwa infrastruktur, budaya dan kesehatan politik adalah bukan segalanya.

Omong kosong.

Kalau negara tidak cukup infrastrukturnya bagaimana menyambungkan lidah dari ujung barat sampai ujung timur Hindia?

Kalau negara tidak teratur sistem pendidikan dan pendidiknya, bagaimana bisa menyamaratakan pendidikan si Muhammad Zulfikri di Jakarta dan si Boaz Yaboisembut di Papua?

Apalagi budi pekerti?

Yang satu maju di tanah Jawa dengan berbagai opsi mata pencaharian yang berlimpah, yang satu termenung di bawah ranting pohon Papua sengsara memikirkan nasib stagnan sebagai rakyat jelata.

Dari pendidikanlah, dari budi pekertilah kian politik Indonesia akan disembuhkan.

Dari yang kental akan comberan kotor mengelilingi tiang-tiang gedung pemerintahan, menjadi kejernihan hati satu tujuan mensejahterakan rakyat Indonesia di atas topangan kaki sendiri.

Boleh berteman dengan asing, namun jangan sampai 'harus' berteman dengan asing.

Kita berteman dengan asing bukan sebagai keharusan, melainkan kesadaran akan pentingnya menyadari bahwa kita sebagai masyarakat Asia Tenggara, sebagai masyarakat Asia, masyarakat dunia perlu bahu membahu secara dewasa berekonomi, berpolitik.

Sampai sekarangpun, orang Indonesia bepergian ke Amerika, ke Jerman, ke Inggris, bahkan ke Belanda dan Jepang, negara-negara yang dahulunya berjaya di zaman kolonial.

Belanda dan Jepang.

Bayangkan.

Negara-negara inilah yang dahulunya berjaya di atas tanah Hindia.

Orang-orangpun rela dijajahi dirinya oleh negara-negara ini dengan kemauan sendiri.

Dengan kemauan sendiri!

Oleh negara-negara yang dahulunya menjajah nenek moyangnya sendiri, seakan belum puasnyalah birahi dan nuraninya ditindas oleh bangsa lain.

Hanya karena tanah dimana 'penindasan' itu berada menjadi saksi kemauan kedua belah pihaklah yang membedakannya.

Saya kira ini masih sama prinsipnya.

Penindasan halus.

Terpelajar-terpelajar tahu mau tidak mau harus rela ditindas karena kurangnya fasilitas di bumi ibu pertiwi.

Memang, keberuntungan status ekonomilah yang menjadi faktor utama bisa tidaknya belajar ke negara yang lebih maju.

Namun, kesadaran sajalah merupakan langkah besar.

Jangan mau dikelabui dengan anggapan bahwa Indonesia sudah seutuhnya hebat.

Masih permulaan kalau kita mau bandingkan dengan Jepang.

Bahkan, masih dalam permulaannya permulaan.

Atau permulaannya permulaannya permulaan?

Mungkin.

Yang jelas, sebagai manusia Indonesia, tentu harapan akan perkembangan itu pasti bulat adanya.

Dari susah payahnya diraih demokrasi setelah dimulainya orde reformasi, tentu sejarah kesuksesan itu tak akan luntur.

Walau musuh tidak jelas nampak di mata, namun jelaslah kita mencium keberadaannya.

Tidak jelas karena jumlahnya masal.

Berwujud manusia, tapi tak pernah memikirkan manusia Indonesia yang lain seutuhnya.

Tersebar dalam partai-partai politik.

Dijajah negara sendiri.

Argumen dilanturkannya hanya karena perut sendiri dan menutup kuping akan argumen lainnya.

Tidak peduli kan kestabilan politik negara dan membuat segala peraturan-peraturan baru malah mandek di bawah gedung berbentuk BH bernama dewan perwakilan rakyat.

Itulah Hindia masa kini.

Indonesia.

Belajar di negara penjajah tentu bisa dijadikan acuan.

Yang sulit bagi terpelajar yang membaca sejarah tentulah kesadaran bahwa negaranya sendiri memang masih belum semaju negara yang dahulu menjajahnya.

Kalau itu bisa dicerna, barulah kita bicara akan perkembangan.

Yang tidak peduli akan sejarah, tentulah akan senang hati menuntut ilmu di negeri matahari terbit.


Namun, toh apalah aku ini?

Dengan uang rakyat bisa jadi tenar
Sewakan pelacur bercanda-canda
Hanyalah pelajar yang sedang berkoar
Hanyalah pemuda yang melihat tanda

Minggu, 11 Januari 2015

Nasihat, marah, dan Charlie Hebdo

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Sering saya dalam berorganisasi, bertemu teman-teman yang memberikan saya nasihat tentang sesuatu yang sebenarnya saya sudah rencanakan sebelumnya.

Bisa saya menyadari bila saya sudah mengerti nasihat itu menjelang akhir, pertengahan, atau yang paling membuat risih adalah ketika awal-awal seseorang memberikan nasihat tersebut.

Si pemberi nasihat kadang tidak mencoba mencaritahu apakah saya sudah mendapatkan pesan yang ia sampaikan atau tidak.

Si pemberi nasihat juga tidak menberikan saya kesempatan untuk balik berbicara.

Perlu pula menambahkan, apa saja yang buruk yang akan terjadi bila saya tidak mengikuti nasihatnya, seakan saya telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai nasihatnya.

Hal-hal ini menguras energi yang menurut saya tidak perlu untuk si pemberi nasihat.

Si penerima nasihat walau tidak menguras energi, namun rasa risih mendengarkan dan untuk menahan bantahan memerlukan tingkat kedewasaan yang tinggi.

Kegiatan memberikan nasihat, saya pikir terlalu sering disamakan sebagai marah.

Padahal, ada perbedaan penting antara memberikan nasihat dan marah yang saya rasa perlu untuk kita sadari ulang bersama.

----------------------------------------

Contoh:

Tinggal seorang ibu dan anaknya seorang murid smp, di sebuah rumah. Hari itu libur, namun hari keesokannya si anak akan mengikuti ujian matematika di sekolah. Si anak belajar dari pagi hingga sore sedangkan ibunya pergi ke luar rumah. Karena sudah merasa puas dengan kinerja belajarnya, si anak memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu pada sore hari dengan menonton TV. Si ibu datang saat anaknya sedang menonton TV. Si ibu memberikan nasihat dengan cara marah-marah dan tidak memberikan si anak kesempatan menjelaskan apapun. Si ibu juga perlu menambahkan bahwa dirinya gagal menjadi seorang ibu karena mempunyai anak yang tidak mempunyai kesadaran sendiri untuk belajar.

---------------------------------------

Ada beberapa poin yang menurut saya perlu untuk dianalisa satu persatu untuk menghindari kesalahpahaman antara pemberi dan penerima 'nasihat' seperti ini.

1. Pengetahuan dasar penerima nasihat.

Nasihat layaknya diberikan bila si penerima nasihat memang sebenarnya belum mengerti apa yang menjadi pesan dari si pemberi nasihat.

Sudah sebaiknyalah ini dihindari dengan cara penerima nasihat menyadari akan pentingnya kesamaan pikir kedua belah pihak.

Ini dilakukan dengan cara pemberi nasihat memastikan pengetahuan si penerima nasihat dengan sebuah pertanyaan.

Saya ambil contoh seorang ibu yang menanyakan apa anaknya sadar akan kewajiban untuk belajar karena keesokan harinya akan ada ulangan matematika.

Bila jawabannya 'Ya', lebih baik nasihat dilanjutkan.
Bila jawabannya sudah 'Tidak', marah adalah opsi yang tepat.

2. Pandangan detail / rencana penerima nasihat.

Walau pemberi dan penerima nasihat berada di halaman yang sama dengan mempunyai pengetahuan dasar yang sama, namun pasti ada hal yang perlu diketahui si pemberi nasihat sebelum memberikan nasihat.

Ini bisa dilakukan juga dengan pertanyaan bagi si penerima nasihat.

Contohnya dari kisah si ibu dan anak, si ibu bisa memberikan kesempatan bagi si anak untuk menjelaskan situasi ini.

Si anak bisa dengan jujur dan tidak ada tekanan apapun untuk menjelaskan bahwa dirinya sudah belajar dari pagi hingga sore.

Mungkin bahkan, bisa dengan menunjukkan kertas-kertas hasil latihan untuk ujian matematikanya esok hari.

Bayangkan bila si ibu sudah mengambil keputusan untuk marah disini.

Si anak tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menunjukkan hal ini walaupun dirinya memegang bukti bahwa ia sudah belajar.

Memotong pembicaraan ketika ibunya sedang marah tentu adalah hal yang tidak sopan dan tercela.

3. Memahami situasi dan memutuskan untuk memberi nasihat atau marah.

Ini perlu dilakukan guna si ibu dalam kasus ini, bisa menghindari sakit hati mengakui kalau dirinya gagal mendidik anaknya, yang sebenarnya sungguh tidak perlu karena memang tidak gagal mendidik anaknya.

Ketika merasa bahwa informasi sudah cukup, barulah si pemberi nasihat bisa memutuskan untuk hanya memberi nasihat atau marah.

Dengan begitu, energi tidak akan sia-sia terbuang dan perselisihan tidak akan semena-mena terjadi.

-------------------------------------

Izinkan saya untuk mengekstrapolasikan masalah ini ke trajektori yang lebih kita temui sehari-sehari dan menurut saya penting.

Sering dari berbagai sumber berita yang saya baca, opini dan editorial menjadi tempat para penulisnya menuangkan pendapatnya yang subjektif.

Memang kedua jenis tulisan itu dalam jurnalistik adalah subjektif dalam isi dan tujuannya.

Pembaca boleh menyimpulkan sendiri apa opini tersebut layak dipertahankan atau ada perbedaan pandangan antara penulis dan pembaca.

Yang sering terjadi adalah satu sumber berita mempunyai jenis pandangan yang konsisten mendukung atau menyerang satu pemikiran, kubu politik atau bahkan subjek, orang.

Dan pembaca tidak diwajibkan untuk membaca sumber berita dalam berbagai perspektif, yang memungkinkan mereka hanya membaca satu sumber berita secara terus menerus, menutup pemikirannya menjadi eksklusif dengan satu sumber berita saja.

Bila ini terjadi, walau pengetahuan dasar kalangan pembaca bisa jadi sama semua (nomor 1 dari yang saya tulis di atas), pandangan detail (nomor 2) bisa bervariasi tergantung dari perspektif mana si penulis mengambil sisi suatu berita.

Untuk nomor 3 (memutuskan untuk memberi nasihat atau marah) menjadi sangat penting disini.

Ini yang bila saya boleh masukkan contoh, mengakibatkan perselisihan yang tidak perlu seperti apa yang dilakukan oleh pembenci Jonru yang menjelek-jelekkan namanya, pembunuhan penganut Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam (FPI) dan yang paling baru terjadi adalah rangkaian penembakan terhadap petinggi komik satir Charlie Hebdo.

Marah disini saya artikan sebagai membenci, menbunuh, menembak.

Kalau merasa tidak sependapat dengan Jonru, ya jangan dibuat repot dengan menjelek-jelekkan namanya.

Kalau merasa Ahmadiyah menghina agama Islam, tapi bukankah membunuh tetap tak bisa dibenarkan apapun alasannya? (Di luar kasus hukum)

Kalau merasa Charlie Hebdo menghina agama, baik itu agama Islam maupun Kristen? Tuntut komiknya, bawa ke pengadilan, hukum, denda, dan cabut izinnya.

Mereka mungkin tidak melanggar hukum yang paling sering kita dengar pasca insiden berdarah di negara hukum seperti Perancis itu sebagai 'freedom of speech', hak berpendapat.

Tapi, mereka bisa dituntut, dibawa ke pengadilan, dan kita biarkan jaksa menjadi hakim kelanjutan komik mingguan tersebut.

Dengan logika yang sama, 'mini skirt causes rape'. Mini skirt tak melanggar hukum, tapi menyulut api bahaya pemerkosaan.

Hukum tidak mengizinkan kita untuk marah, untuk menembak petinggi Charlie Hebdo, untuk memerkosa pemakai mini skirt.

Tetapi hukum bukanlah satu-satunya yang bisa menjadi pegangan.

Negara harus hadir untuk hal-hal sensitif seperti ini, apalagi tentang agama.

Thin ice.

Lapisan es yang tipis.

Di Sahara, barangkali.

Kapan saja bisa retak, pecah, terbelah-belah.

Hukum hanya menentukan batasan berapa ketebalan minimum lapisan es tersebut.

Tapi inisiatif untuk meningkatkan lapisan es tersebut tidak bisa tersentuh olehnya.

Hukum juga tidak bisa mengatur seberapa hangat cuaca yang menyebabkan lapisan es itu akan kemudian retak dan pecah.

Melainkan marah (menembak, membunuh, dan memerkosa), kita bisa memberi nasihat / pelajaran dengan menuntut, mencari solusi yang lebih baik.

Balik ke kalimat pertama saya.

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Kita mungkin tahu akan kesalahan yang Jonru propagandakan, yang Charlie Hebdo gambarkan.

Tapi butuh kedewasaan yang tinggi untuk sabar dan tidak marah dalam hal ini.

Sedikit pemikiran saya.