Sabtu, 27 Juni 2020

26

It’s been all my life that I’ve been praised of my young age wherever I went and did the things I did at the time, which I’m sure most of you were, being a teenager in a foreign country, getting your first pay check from your first company, or even just going to the hospital for a simple health check when the doctor told you how he was still struggling as a medical student in the Japanese suburbs when he was your age.

Stepping into the second half of our twenties is exciting, yet challenging, as more responsibilities are to be held, more concrete plannings are to be done, and more care is to be given to one’s own body.

Being told young felt evolutionarily good as we were unconsciously made to think that we still had many more years to ‘survive’.

We do, in the end, find the things that make us feel young again naturally with exercise and healthy diet, and unnaturally with botox and the likes.

However that goes, nothing can refresh our soul better than spending time with the people we love, keeping our minds open to other people’s perspective, opinions and beliefs, and just letting it go & agree to disagree when their opinions and beliefs are too strongly built into their minds.

Oh well, happy birthday to me! 😂

Sabtu, 16 Desember 2017

A conservative or a progressive?

An inevitable ultimate question runs through his mind while reading news about the politics and the humans' current situation in the ever-worsening cold wars both within the west and east side of the Pacific, an ocean that ironically gave Eureka when the 'new world' was discovered.

Is he a conservative, or a progressive?

But has he ever really thought the meaning of those 2 words themselves?
What do conservatives conserve? 
And what do progressives progress from or into?

With his limited research, he concluded that conservatives tend to conserve the good old traditional values. 
Values that evolved from religions such as Christian in most American politics and Islam in most Middle-Eastern politics. 

Progressives in the other hand, 'progress' from these traditional values into more modern values that include economical theories, science and technology into their thinking process in making rules & regulations.

He is not surprised to know that there are still people who believe that the earth is flat because of this crucial point. 
Of course however, they are minority. Extreme conservatives only believe in what their source for traditional values tell them. 

Most conservatives however, think that science and technology are worth considering although slightly less important than religions and traditional values, ironically blabbing it loud enough on Twitter, Facebook and other technology-innovated social medias.

Abortion is the same as killing a person since bible does not really tell them anything about overpopulation and limited resources.
And gay marriage, is a sin, because science had not proven them that it's in the natural world for a small percentage of animals (including humans) to be attracted to the same sex.

With science, he then knows that the universe is at least 13 point 5 billion years old by tracking on the furthest star away from the center of our universe traveling with the speed of light right after the Big Bang.
With science, he knows that the earth is at least 4 point 5 billion years old by the radiometric age-dating calculation of earth rocks. 

With science too, he knows that evolution has made human become human after around 4 million years of non-random process of natural selection. 
To think that religions and traditional values that were developed earliest around 40.000 years BC deserve to be fought (conserved) better than evolution which had started 100 times earlier might be considered a strange act, mightn't it? 

It's simple. 
Should the constitution be fought harder than a law that was just made last week that was not really in line with the constitution? How could such a law be created anyway?
Shouldn't science & technology be conserved harder as it is, inevitably, the constitution of the universe?

Well, he thinks so. 


In the end, he never really understands what he is, a conservative or a progressive, as he is conserving the much more important thing to conserve, the constitution of the universe. 

Selasa, 21 November 2017

Tentangmu

Hai cuek, apa kau masih ingat, tentang sore itu, di musim penghujan itu, ketika kita masih punya perasaan, yang sekiranya sama itu?

Hai cuek, tentu kau tidak ingat, tentang jalan itu, yang dihiasi lampu merah dan putih yang berkerlap-kerlip itu, saat jam kerjamu baru terlewat 30 menit itu.

Hai cuek, mungkin biar kuberi kau ingat, tentang kemudiku, dari kantor tempat kau bekerjamu, menuju kosan tempat kau tidurmu.

Hai cuek, tak apalah kau tak ingat, tentang perasaanku padamu, seperti lebah yang mengagumi nektar bunga, seperti seekor semut pekerja pada ratunya.

Hai cuek, biarlah kusaja yang ingat, tentang dirimu, tentang keindahanmu, tentang kecuekanmu.

Tentangmu.

Tokyo, 21 November 2017

Jumat, 31 Maret 2017

Manusia dan Ketidakpercayadirian Alaminya

Feeling insecure, atau yang bisa dalam bahasa Indonesia dikatakan sebagai ‘tidak percaya diri’, selalu melekat dalam diri manusia.

Manusiapun dapat memilih untuk kemudian menunjukkan rasa insecure itu ataupun mengendapnya dalam diri mereka masing-masing.

Merasakan insecure sangat wajar karena merupakan suatu fenomena yang natural bagi setiap makhluk hidup.

Makhluk hidup yang berevolusi wajib mempunyai karakteristik ini agar spesies mereka tidak terancam.

Sama prinsipnya dengan merasakan takut akan bahaya, seekor rusa akan waspada melihat sekelilingnya di savanah yang luas agar tidak diterkam singa secara diam-diam.

Begitu pula dengan segerombolan flamingo yang mengambil air dengan cungurnya di danau harus berantisipasi untuk kemungkinan adanya buaya yang menerkam dari dalam danau.

Pun begitu dengan manusia.

Merasakan kedinginan ketika sedang dalam cuaca yang dingin secara otomatis memberikan siasat kepada tubuh untuk menguras energi melawan dingin tersebut, atau sesederhana membuat mereka berpindah ke tempat yang lebih hangat.

Merasakan takut apabila memacu mobil hingga 200km/jam di jalan tol tanpa pengaman membuat mereka sadar dan teknologi seperti SRS airbag dan rem otomatispun diciptakan.


Layaknya sensor takut, manusia juga sudah pada hakikatnya secara alami merasakan ketidakpercayadirian (feeling insecure) itu.

Seorang model dapat merasa tidak percaya diri pada penampilannya walau banyak orang menganggap dirinya cantik.

Seorang yang obesitas dapat merasa tidak percaya diri pada berat badannya.
Itu semua memang secara alami pantas terjadi.

Manusia yang juga merupakan makhluk hidup yang hanya lebih unggul dalam hal evolusipun pantas merasakan ketidakpercayadirian itu.

Namun, yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya adalah bahwa manusia berbeda-beda dan komplekslah tingkat ketidakpercayadiriannya berdasarkan lingkungan di sekitarnya.

Wanita yang dilahirkan di Indonesia dengan salah satu persepsi kecantikan yang dibangun yaitu yang berkulit putih akan merasa insecure bila kulitnya tidak putih.

Berbeda dengan wanita yang dilahirkan di Swedia misalnya, dengan persepsi kecantikan yaitu yang kulitnya sedikit gelap atau tanned, akan merasa insecure apabila kulitnya terlalu putih atau pucat.

Yang patut ditegaskan disini adalah wajar seorang manusia merasakan ketidakpercayadirian itu, karena itu akan membuat mereka menjadi lebih baik (berdasarkan persepsi di lingkungan mereka).

Wanita Indonesia tadi akan mencari cara agar membuat kulitnya menjadi putih dengan memakai sabun pemutih misalnya, dan wanita Swedia tadipun akan membuat kulitnya menjadi lebih gelap dengan berjemur di pantai misalnya.

Manusia yang obesitaspun akan lebih mudah menurunkan berat badan apabila rasa tidak percaya diri itupun dipupuk.

Namun, apabila terlalu berlebihan juga akan merugikan si manusia tersebut.

Manusia yang berlebihan rasa insecurenyapun akan terus khawatir dan tidak percaya diri; ini dapat membuat mindset mendalam yang tidak akan membuat manusia itu bisa berkembang sebab manusia tersebut selalu merasa inferior.

Sama halnya dengan rusa dan juga flamingo.

Rusa akan tidak bisa beraktivitas apapun dan mati kelaparan karena tidak bisa mencari mangsanya sendiri oleh ketakutan yang menyelimuti.

Flamingopun akan mati kehausan karena terus khawatir buaya akan menerkamnya dari dalam danau ketika hendak minum air.

Sedikit lebih dalam, kitapun dapat menarik kesimpulan bahwa merasa tidak percaya diri itu penting, namun kita juga tidak boleh berlebihan merasa tidak percaya diri, harus with moderation.


Singkatnya, apabila kita melihat seorang manusia yang selalu percaya diri, kita patut mempertanyakan apakah dirinya benar-benar manusia.

Ketika kita mendengar seorang manusia yang selalu percaya diri dengan tafsir agamanya, kita patut mempertanyakan apakah dirinya betul-betul manusia.

Ketika kita melihat seorang manusia yang selalu percaya diri dengan korupsi dan mengambil uang rakyat, kita patut mempertanyakan apakah dirinya sungguh-sungguh manusia.

Ketika kita memperhatikan seorang manusia yang selalu percaya diri menjelek-jelekan orang lain tanpa melihat kebaikan yang dimiliki orang lain, kita patut mempertanyakan apakah dirinya seratus persen manusia.

Atau mungkinkah mereka manusia setengah dewa?


Dewa kotoran manusia.



Ruben

Kanagawa, April 2017

Kamis, 02 Maret 2017

Rumah

Menitpun berganti jam yang dengan cepatnya berkumpul menjadi hari.

Haripun berganti minggu yang dengan cepatnya bercengkerama menjadi bulan.

Kumpulan bulan itu, lepaspun tertawanya pada manusia goblok yang bingung akan sedikitnya sisa waktu dirinya di tanah kelahirannya.

Yang pada awal mula dirinya meninggalkan tanah dimana ia dilahirkan tak mengerti akan kerinduan yang akan ia rasakan di tanah milik orang lain.

Yang merasa senang-senang saja menempuh ilmu di negeri karaoke, bir-bir kelas dunia, dan kemerlap lampu malam yang mencahayai gedung prostitusi-prostitusi yang terkenal kemahirannya sampai ke pelosok-pelosok timur Papua sekalipun.

Untuk pada akhirnya beberapa tahun kemudian menyadari, bahwa Shinjuku, Shibuya dan Roponggi, tak kalah kerennya dibanding Jakarta, yang walau begitu banyaknya bangunan baja yang mengurangi lahan hijau ibukota yang sedang dalam proses penyembuhan, punya karakter tersendiri yang mampu membuat seorang mahasiswa S1, S2 ataupun S3 terdiam sejenak, merasa rindu yang mendalam akan 'rumah', itu.

Suasana ramai dipadu bau alkohol yang dengan setianya diselimuti uap kabut yang disemburkan anak-anak SMA dengan vape mereka, ataupun suasana hedonistik yang mengintimidasi dari atap suatu gedung bilangan pusat kota Jakarta, sampai suasana santai pinggir jalan selatan kota ditemani sate pedas bak Lucifer sendiri yang membuat saus sambalnya, menggambarkan satu bagian dari yang jutaan orang anggap 'rumah', itu.

Seluruh perpaduan itu, takkan ada artinya sebiji-biji beras pun, apabila diriku tak menyebutkan berbagai kecantikan wanita Indonesia yang bersatu di ibukota, yang dengan kota asal mereka yang bermacam-macam itupun rela meninggalkan 'rumah' mereka tuk tinggal di kosan yang kecil, yang mungil, demi mendapatkan rezeki yang halal maupun tidak halal dari bisnis toko online, jadi supir taksi online ataupun bekerja di panti pijit remang-remang sudut-sudut kota Jakarta yang pun juga mereka sudah sebut 'rumah', itu.

Kemudian, aku bertanya kepada diriku, seberapa bodohnyakah seorang manusia, yang rela kerja di negeri orang lain, menyenangkan bos-bos bangsa lain, yang dengan lugunya rela meninggalkan kenyamanan 'rumah', ketentraman 'rumah' itu?

Rabu, 08 Februari 2017

Surat untuk Oa

Oa,

Aku tidak tahu seberapa yang kamu tahu atau yang kamu tidak tahu dari lingkungan yang ada di sekitarku.
Akupun demikian.
Dari pembicaraan kita melalui telepon beberapa hari silam, agak bias untuk begitu saja memaksakan imajinasiku terhadap apa yang ada di sekitarmu.
Anggap aku manusia rendah imajinasi.
Anggap aku manusia minim antisipasi.

Yang aku tangkap adalah tetap melekatnya keceriaan dalam perkataanmu, kebahagiaan yang bertambah dalam intonasimu, namun kerinduan akan sesuatu yang aku kurang bisa pada saat ini mengerti.

Di dunia luar ini, ada banyak yang, aku anggap saja, menarik untuk dituliskan dalam buku memoir pengingat kejadian-kejadian secara pribadi ataupun publik.
Dari seorang tak bersalah yang kemudian harus dipenjarakan karena dituduh membunuh temannya dengan memasukkan sianida ke dalam segelas kopi Vietnam,
ke demo besar-besaran yang dilakukan pada tanggal 4 November silam karena seorang Kristen yang difitnah menistakan agama Islam oleh perkataannya,
ke pemilihan umum presiden Amerika Serikat yang sampai detik aku menulis surat inipun seorang yang dianggap rasis, kasar dan arogan dapat memimpin presentase pemenang pemilihan.

Tampaknya aku mulai mengerti mengapa dirimu ingin meninggalkan dunia nyata dan pergi untuk mencari jati diri yang asli di kesendirianmu dalam lingkungan yang baru.
Untuk kemudian mempelajari Bahasa Inggris di suatu tempat di pulau Jawa bagian Timur adalah suatu langkah yang jarang orang pikirkan untuk ambil.

Tentu seperti yang kamu katakan dalam pembicaraan kita di telepon pada saat itu, kamu belajar lebih banyak mengenai kehidupan sederhana yang kamu dapat alami secara langsung di sana.
tentang bagaimana seseorang dapat tinggal dalam suatu asrama yang ketat, yang hampir tidak ada kontak dengan dunia luar, yang mungkin merasakan kebahagiaan yang jauh lebih berarti ketimbang semua orang yang berpura-pura tertawa dalam kebahagiaan palsu di luar sini.

Sungguh aku mengagumi pilihan yang dirimu ambil.

Anggap aku pengecut, anggap aku penakut, yang belum bisa meninggalkan zona nyamanku di Tokyo, di Jakarta, di Bandung, di kota-kota besar lainnya dengan lampu-lampu kota, mesin-mesin mobil dan bangunan-bangunan tinggi yang senantiasa menyelimuti diriku dari jiwaku yang sesungguhnya.

Aku tidak seberani kau.
Aku tidak sebahagia kau.
Aku tidak sebijaksana kau.

Namun mungkin, aku ingin menjadi seperti kau.



Ruben Abdulrachman
Cikini, 9 November 2014

Senin, 14 November 2016

Secarik Surat untuk Rangga

Rangga, sesungguhnya aku bertanya tentang Cinta, apa dia yang selalunya membahagiakan sedihmu, menyehatkan sakitmu?

Untuk yang selama ini kau tinggalkan, dalam angan untuk melegakan hausmu, mengeyangkan laparmu?

Tak pikirkah engkau betapa besar keegoisan yang kau harus miliki, untuk dapat merebutnya kembali, yang tak kunjung meraimakan sepimu, memudakan tuamu?

Yang sejujurnya saja, tak pernah sedetik jua mencintai dirimu?