Minggu, 01 Maret 2015

Undeveloped theory of mine

As obvious as it is, might intelligence of humans be too evolved that it's actually not the optimal strength for species survival?

If so, then such thing as optimal intellectual level of a living thing might exist.

Lack of balance in intelligence and emotional ego leading to the making of nuclear weapons, world wars and global warming, dare I say, are leading us to extinction; in this planet, at the very least.

Stephen Hawking said that our existence in planet earth might be less than 200 years if we keep doing things that are endangering us.

If we go on and carry the assumption that there is an intellectual limit, an encounter with other living things in this universe, or any other universe, would be of the impossible, for one has to be equally intelligent in emotional ego to prevent long-span, slow but certain, self-extinction.

This therefore, can be self-explanatory why aliens or such things never came to our planet and tried to communicate with us, for they would have been extinct before they managed to do that.

Are we really up and ready to break my theory?

Only time will tell.

Rabu, 11 Februari 2015

The Tourist

Two days ago, a traveller friend from Indonesia visited Tokyo.

I was very happy of course, to welcome him and show him around town.

As a tourist, he traveled Nagoya before coming to Tokyo.

Having asked me, I answered lightly "I've never been there."

I asked to myself if I was disappointed of that fact.

And the answer was surprisingly a negative.

No, I wasn't disappointed I'd never been to Nagoya.

After quite a thought though, I made a hypothesis about where my feelings were headed to at that moment in time.

I realized after years spent in Japan as a student, I forgot one of the factors why I decided to come to study in Japan in the first place; although maybe subconsciously.

The rich culture and tradition in every other prefecture might have been it.

The absence of a trip to the prefecture famous for their unagi or eel is of no bother to me.

In a smaller scale, I also realized after some time spent in Tokyo as a student, I forgot how I had actually been living in the biggest metropolis of Asia!

The absence of just enjoying the view or experiencing new things in big stations around Tokyo area is not, in the slightest, of any bother to me.

Being a tourist for the countless time in Tokyo, I came about rediscovering how the metropolis was an awesome region with unique city characteristics in almost every other station.

Those stations are well-connected though, through 3 major train companies; JR (Japan Railways), Tokyo Metro & Toei Subway.

I enjoyed Tokyo in a different way than I usually did.

I was a tourist in Tokyo.

A simple mindset change, yet that's all what jt takes, really.

To know how that switch could actually turn me into a far more grateful person was an amazing experience.

We went to enjoy Harajuku to just walk, chill and eat at Hanamaru Udon on the infamous Takeshita Street.

Went to the Meiji Shrine to experience the way the Japanese search for their inner peace once more.

Went to Yoyogi Park just to walk around and talk at one of the benches in its central area.

Went to Shibuya walking to get a view of the way's surroundings, ate some fresh sushi at Genki Sushi, crossed the Shibuya crossing and went to look the simplicity of quite a meaningful Hachiko statue.

For short, in those two days, I enjoyed Tokyo more than in the past year or so.

This would never happen, at least just by my own means, if I had been having a student's mindset.

Well, I'm just feeling grateful of Tokyo;)

Kamis, 29 Januari 2015

Catatan Pinggir #1 (Penjajahan)

Susah rasanya menyamakan negara yang aku tinggali sekarang dengan negara dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.

Infrastrukturnya lebih maju, budaya dan pendidikannya lebih teratur, pun kesehatan politiknya terjaga.

Itu memang tidak bisa dipungkiri lagi.

Dan banyak orang akan bilang bahwa infrastruktur, budaya dan kesehatan politik adalah bukan segalanya.

Omong kosong.

Kalau negara tidak cukup infrastrukturnya bagaimana menyambungkan lidah dari ujung barat sampai ujung timur Hindia?

Kalau negara tidak teratur sistem pendidikan dan pendidiknya, bagaimana bisa menyamaratakan pendidikan si Muhammad Zulfikri di Jakarta dan si Boaz Yaboisembut di Papua?

Apalagi budi pekerti?

Yang satu maju di tanah Jawa dengan berbagai opsi mata pencaharian yang berlimpah, yang satu termenung di bawah ranting pohon Papua sengsara memikirkan nasib stagnan sebagai rakyat jelata.

Dari pendidikanlah, dari budi pekertilah kian politik Indonesia akan disembuhkan.

Dari yang kental akan comberan kotor mengelilingi tiang-tiang gedung pemerintahan, menjadi kejernihan hati satu tujuan mensejahterakan rakyat Indonesia di atas topangan kaki sendiri.

Boleh berteman dengan asing, namun jangan sampai 'harus' berteman dengan asing.

Kita berteman dengan asing bukan sebagai keharusan, melainkan kesadaran akan pentingnya menyadari bahwa kita sebagai masyarakat Asia Tenggara, sebagai masyarakat Asia, masyarakat dunia perlu bahu membahu secara dewasa berekonomi, berpolitik.

Sampai sekarangpun, orang Indonesia bepergian ke Amerika, ke Jerman, ke Inggris, bahkan ke Belanda dan Jepang, negara-negara yang dahulunya berjaya di zaman kolonial.

Belanda dan Jepang.

Bayangkan.

Negara-negara inilah yang dahulunya berjaya di atas tanah Hindia.

Orang-orangpun rela dijajahi dirinya oleh negara-negara ini dengan kemauan sendiri.

Dengan kemauan sendiri!

Oleh negara-negara yang dahulunya menjajah nenek moyangnya sendiri, seakan belum puasnyalah birahi dan nuraninya ditindas oleh bangsa lain.

Hanya karena tanah dimana 'penindasan' itu berada menjadi saksi kemauan kedua belah pihaklah yang membedakannya.

Saya kira ini masih sama prinsipnya.

Penindasan halus.

Terpelajar-terpelajar tahu mau tidak mau harus rela ditindas karena kurangnya fasilitas di bumi ibu pertiwi.

Memang, keberuntungan status ekonomilah yang menjadi faktor utama bisa tidaknya belajar ke negara yang lebih maju.

Namun, kesadaran sajalah merupakan langkah besar.

Jangan mau dikelabui dengan anggapan bahwa Indonesia sudah seutuhnya hebat.

Masih permulaan kalau kita mau bandingkan dengan Jepang.

Bahkan, masih dalam permulaannya permulaan.

Atau permulaannya permulaannya permulaan?

Mungkin.

Yang jelas, sebagai manusia Indonesia, tentu harapan akan perkembangan itu pasti bulat adanya.

Dari susah payahnya diraih demokrasi setelah dimulainya orde reformasi, tentu sejarah kesuksesan itu tak akan luntur.

Walau musuh tidak jelas nampak di mata, namun jelaslah kita mencium keberadaannya.

Tidak jelas karena jumlahnya masal.

Berwujud manusia, tapi tak pernah memikirkan manusia Indonesia yang lain seutuhnya.

Tersebar dalam partai-partai politik.

Dijajah negara sendiri.

Argumen dilanturkannya hanya karena perut sendiri dan menutup kuping akan argumen lainnya.

Tidak peduli kan kestabilan politik negara dan membuat segala peraturan-peraturan baru malah mandek di bawah gedung berbentuk BH bernama dewan perwakilan rakyat.

Itulah Hindia masa kini.

Indonesia.

Belajar di negara penjajah tentu bisa dijadikan acuan.

Yang sulit bagi terpelajar yang membaca sejarah tentulah kesadaran bahwa negaranya sendiri memang masih belum semaju negara yang dahulu menjajahnya.

Kalau itu bisa dicerna, barulah kita bicara akan perkembangan.

Yang tidak peduli akan sejarah, tentulah akan senang hati menuntut ilmu di negeri matahari terbit.


Namun, toh apalah aku ini?

Dengan uang rakyat bisa jadi tenar
Sewakan pelacur bercanda-canda
Hanyalah pelajar yang sedang berkoar
Hanyalah pemuda yang melihat tanda

Minggu, 11 Januari 2015

Nasihat, marah, dan Charlie Hebdo

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Sering saya dalam berorganisasi, bertemu teman-teman yang memberikan saya nasihat tentang sesuatu yang sebenarnya saya sudah rencanakan sebelumnya.

Bisa saya menyadari bila saya sudah mengerti nasihat itu menjelang akhir, pertengahan, atau yang paling membuat risih adalah ketika awal-awal seseorang memberikan nasihat tersebut.

Si pemberi nasihat kadang tidak mencoba mencaritahu apakah saya sudah mendapatkan pesan yang ia sampaikan atau tidak.

Si pemberi nasihat juga tidak menberikan saya kesempatan untuk balik berbicara.

Perlu pula menambahkan, apa saja yang buruk yang akan terjadi bila saya tidak mengikuti nasihatnya, seakan saya telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai nasihatnya.

Hal-hal ini menguras energi yang menurut saya tidak perlu untuk si pemberi nasihat.

Si penerima nasihat walau tidak menguras energi, namun rasa risih mendengarkan dan untuk menahan bantahan memerlukan tingkat kedewasaan yang tinggi.

Kegiatan memberikan nasihat, saya pikir terlalu sering disamakan sebagai marah.

Padahal, ada perbedaan penting antara memberikan nasihat dan marah yang saya rasa perlu untuk kita sadari ulang bersama.

----------------------------------------

Contoh:

Tinggal seorang ibu dan anaknya seorang murid smp, di sebuah rumah. Hari itu libur, namun hari keesokannya si anak akan mengikuti ujian matematika di sekolah. Si anak belajar dari pagi hingga sore sedangkan ibunya pergi ke luar rumah. Karena sudah merasa puas dengan kinerja belajarnya, si anak memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu pada sore hari dengan menonton TV. Si ibu datang saat anaknya sedang menonton TV. Si ibu memberikan nasihat dengan cara marah-marah dan tidak memberikan si anak kesempatan menjelaskan apapun. Si ibu juga perlu menambahkan bahwa dirinya gagal menjadi seorang ibu karena mempunyai anak yang tidak mempunyai kesadaran sendiri untuk belajar.

---------------------------------------

Ada beberapa poin yang menurut saya perlu untuk dianalisa satu persatu untuk menghindari kesalahpahaman antara pemberi dan penerima 'nasihat' seperti ini.

1. Pengetahuan dasar penerima nasihat.

Nasihat layaknya diberikan bila si penerima nasihat memang sebenarnya belum mengerti apa yang menjadi pesan dari si pemberi nasihat.

Sudah sebaiknyalah ini dihindari dengan cara penerima nasihat menyadari akan pentingnya kesamaan pikir kedua belah pihak.

Ini dilakukan dengan cara pemberi nasihat memastikan pengetahuan si penerima nasihat dengan sebuah pertanyaan.

Saya ambil contoh seorang ibu yang menanyakan apa anaknya sadar akan kewajiban untuk belajar karena keesokan harinya akan ada ulangan matematika.

Bila jawabannya 'Ya', lebih baik nasihat dilanjutkan.
Bila jawabannya sudah 'Tidak', marah adalah opsi yang tepat.

2. Pandangan detail / rencana penerima nasihat.

Walau pemberi dan penerima nasihat berada di halaman yang sama dengan mempunyai pengetahuan dasar yang sama, namun pasti ada hal yang perlu diketahui si pemberi nasihat sebelum memberikan nasihat.

Ini bisa dilakukan juga dengan pertanyaan bagi si penerima nasihat.

Contohnya dari kisah si ibu dan anak, si ibu bisa memberikan kesempatan bagi si anak untuk menjelaskan situasi ini.

Si anak bisa dengan jujur dan tidak ada tekanan apapun untuk menjelaskan bahwa dirinya sudah belajar dari pagi hingga sore.

Mungkin bahkan, bisa dengan menunjukkan kertas-kertas hasil latihan untuk ujian matematikanya esok hari.

Bayangkan bila si ibu sudah mengambil keputusan untuk marah disini.

Si anak tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menunjukkan hal ini walaupun dirinya memegang bukti bahwa ia sudah belajar.

Memotong pembicaraan ketika ibunya sedang marah tentu adalah hal yang tidak sopan dan tercela.

3. Memahami situasi dan memutuskan untuk memberi nasihat atau marah.

Ini perlu dilakukan guna si ibu dalam kasus ini, bisa menghindari sakit hati mengakui kalau dirinya gagal mendidik anaknya, yang sebenarnya sungguh tidak perlu karena memang tidak gagal mendidik anaknya.

Ketika merasa bahwa informasi sudah cukup, barulah si pemberi nasihat bisa memutuskan untuk hanya memberi nasihat atau marah.

Dengan begitu, energi tidak akan sia-sia terbuang dan perselisihan tidak akan semena-mena terjadi.

-------------------------------------

Izinkan saya untuk mengekstrapolasikan masalah ini ke trajektori yang lebih kita temui sehari-sehari dan menurut saya penting.

Sering dari berbagai sumber berita yang saya baca, opini dan editorial menjadi tempat para penulisnya menuangkan pendapatnya yang subjektif.

Memang kedua jenis tulisan itu dalam jurnalistik adalah subjektif dalam isi dan tujuannya.

Pembaca boleh menyimpulkan sendiri apa opini tersebut layak dipertahankan atau ada perbedaan pandangan antara penulis dan pembaca.

Yang sering terjadi adalah satu sumber berita mempunyai jenis pandangan yang konsisten mendukung atau menyerang satu pemikiran, kubu politik atau bahkan subjek, orang.

Dan pembaca tidak diwajibkan untuk membaca sumber berita dalam berbagai perspektif, yang memungkinkan mereka hanya membaca satu sumber berita secara terus menerus, menutup pemikirannya menjadi eksklusif dengan satu sumber berita saja.

Bila ini terjadi, walau pengetahuan dasar kalangan pembaca bisa jadi sama semua (nomor 1 dari yang saya tulis di atas), pandangan detail (nomor 2) bisa bervariasi tergantung dari perspektif mana si penulis mengambil sisi suatu berita.

Untuk nomor 3 (memutuskan untuk memberi nasihat atau marah) menjadi sangat penting disini.

Ini yang bila saya boleh masukkan contoh, mengakibatkan perselisihan yang tidak perlu seperti apa yang dilakukan oleh pembenci Jonru yang menjelek-jelekkan namanya, pembunuhan penganut Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam (FPI) dan yang paling baru terjadi adalah rangkaian penembakan terhadap petinggi komik satir Charlie Hebdo.

Marah disini saya artikan sebagai membenci, menbunuh, menembak.

Kalau merasa tidak sependapat dengan Jonru, ya jangan dibuat repot dengan menjelek-jelekkan namanya.

Kalau merasa Ahmadiyah menghina agama Islam, tapi bukankah membunuh tetap tak bisa dibenarkan apapun alasannya? (Di luar kasus hukum)

Kalau merasa Charlie Hebdo menghina agama, baik itu agama Islam maupun Kristen? Tuntut komiknya, bawa ke pengadilan, hukum, denda, dan cabut izinnya.

Mereka mungkin tidak melanggar hukum yang paling sering kita dengar pasca insiden berdarah di negara hukum seperti Perancis itu sebagai 'freedom of speech', hak berpendapat.

Tapi, mereka bisa dituntut, dibawa ke pengadilan, dan kita biarkan jaksa menjadi hakim kelanjutan komik mingguan tersebut.

Dengan logika yang sama, 'mini skirt causes rape'. Mini skirt tak melanggar hukum, tapi menyulut api bahaya pemerkosaan.

Hukum tidak mengizinkan kita untuk marah, untuk menembak petinggi Charlie Hebdo, untuk memerkosa pemakai mini skirt.

Tetapi hukum bukanlah satu-satunya yang bisa menjadi pegangan.

Negara harus hadir untuk hal-hal sensitif seperti ini, apalagi tentang agama.

Thin ice.

Lapisan es yang tipis.

Di Sahara, barangkali.

Kapan saja bisa retak, pecah, terbelah-belah.

Hukum hanya menentukan batasan berapa ketebalan minimum lapisan es tersebut.

Tapi inisiatif untuk meningkatkan lapisan es tersebut tidak bisa tersentuh olehnya.

Hukum juga tidak bisa mengatur seberapa hangat cuaca yang menyebabkan lapisan es itu akan kemudian retak dan pecah.

Melainkan marah (menembak, membunuh, dan memerkosa), kita bisa memberi nasihat / pelajaran dengan menuntut, mencari solusi yang lebih baik.

Balik ke kalimat pertama saya.

Mengaku salah / tidak tahu walau sesungguhnya tidak salah dan tahu adalah bentuk kedewasaan yang saya kira perlu diberi apresiasi.

Kita mungkin tahu akan kesalahan yang Jonru propagandakan, yang Charlie Hebdo gambarkan.

Tapi butuh kedewasaan yang tinggi untuk sabar dan tidak marah dalam hal ini.

Sedikit pemikiran saya.

Senin, 15 Desember 2014

Berita, Lembaga Sensor & Papua Barat



Dari mulai zaman kolonial, zaman Belanda menduduki dan menjajah Hindia Belanda (sekarang Indonesia), berita dengan berbagai macam bentuk dan medianya tentu menjadi pedoman banyak golongan di daerah jajahan tersebut.

Terdapat sumber berita kolonial yang dipegang oleh Belanda atau Gubermen, juga sumber berita de Locomotief, Indische Partij dengan koran de Expres, dan yang menjadi daya tarik tersendiri yaitu Medan Prijaji yang dikontrol pribumi. Yang terakhir menjadi kunci karena dibaca oleh pribumi dengan jumlah yang mengagumkan, hari demi hari semakin dibuka matanya akan penjajahan yang sedang dialaminya.

Keberagaman inipun terus dipelihara hingga sekarang. Golongan yang berkembang sekarang, bukan lagi hanya dibatasi oleh golongan ras dan agama, namun juga ditambah dengan ideologi, kecenderungan dan kiblat cara pandang.

Ini tentu sangatlah wajar. Karena sesungguhnya satu manusia di dunia ini takkan punya perspektif pemikiran yang sama persis dengan yang lainnya. Walau dididik dan dibesarkan dalam satu atap pun, pasti ada hal yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya. Dari kesukaannya terhadap ikan bakar, penghindarannya terhadap sayuran, sampai kecenderungannya berpikir dengan paham pancasila demokratis, atau mengarah ke islam syariah.


Namun jelas, lembaga sensor itu perlu adanya. Pada zaman kolonial, sangat penting adanya mata dan telinga yang dapat meredam kesadaran terpelajar pribumi akan penjajahan Belanda bila sudah terlalu membahayakan stabilitas politik. Pandangan-pandangan liberal sangatlah bertolak belakang dengan kehendak para petinggi kolonial di Hindia Belanda. Dari pengasingan pendiri-pendiri Indische Partij ke Belanda, pengasingan Tirto Adhi Soerjo ke pulau Bacan, sampai Pulau Buru yang menjadi tempat pengasingan Pramoedya Ananta Toer.


Tentu badan pengontrol media ini akan menjadikan gambaran yang jahat dan kejam untuk petinggi-petinggi Hindia Belanda pada saat itu bahkan juga sekarang. Tapi akan lebih mudah memahami maksud dan tujuan pengasingan-pengasingan ini apabila kita menempatkan kita di tempat yang menjajah. Kita, Indonesia? Pernah menjajah?


Ambil contoh Papua Barat. Apa kita boleh tenang-tenang saja akan organisasi yang ingin memerdekakan Papua Barat seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka)? Apa justru kita harus mendukung OPM untuk merdeka? Apa kita kejam merampas hak mereka untuk merdeka? Apa kita sama dengan para penjajah Belanda yang dulu menjajah Bangsa Indonesia? Kalaupun beda, apa letak bedanya sungguh signifikan?


Tentu pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul di benak kita semua. Kita tentu ingin Papua barat tetap berada dalam bagian NKRI karena memang dari mulai Indonesia merdeka 1945 sampai sekarang ya Papua Barat itu memang bagian dari NKRI, bukan? Ini prinsipnya jelas sama dengan apa yang dipikirkan petinggi-petinggi Hindia Belanda sebelum 1945.


Sebelum itu, apa tidak lain kalau mereka menganggap tanah Hindia Belanda itu adalah bagian dari Belanda?

Benderanya? Bendera Belanda (Merah Putih Biru)
Pemerintahan? Dipimpin oleh Gubernur Jenderal. (Salah satunya Gubernur Jenderal Idenburg pada 1909-1916.
Penduduknya? 97% Pribumi. (Bangsa Eropa hanya 0.4%)

Semenjak 1965, OPM didirikan untuk memerdekakan Provinsi Papua Barat dari pemerintahan (penjajahan) Indonesia. Organisasi ini diredam karena akan memicu terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut. Kalau tidak ada larangan dan redaman yang dapat menandingi gerakan OPM ini, tentu sekarang kita akan melihat bendera bintang kejora tercantum di buku-buku geografi dunia. Kekerasan jugalah yang harus menjadi jalan, dan saya tidak berbicara puluhan tahun yang lalu. Beberapa tahun ini, beberapa bulan ini, detik ini, sekarang dan kemungkinan besar besokpun masih akan terus terjadi. Ini sungguhan.


(Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua)

- Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum, kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI.
-12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.

Belanda kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda karena diambil alih oleh kekaisaran Tentara Jepang setelah lebih dari 3 abad menjajah Indonesia. Dan Jepang, kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda setelah 3 tahun karena runtuh kekaisarannya oleh bom atom Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. 

Belanda kembali dan memimpin Hindia Belanda dengan Komisaris Besar sampai akhirnya pada 27 Desember 1949 dengan pendirian Republik Indonesia Serikat. 
Yang menjadi penting disini adalah perbedaan bahwa sudah matang dan kuatnya terpelajar pribumi. Karena demikian, Republik Indonesia Serikatpun berhasil diruntuhkan pada 17 Agustus 1950.
Beberapa tahun tanpa pengontrol media ataupun lembaga sensor inipun yang saya anggap ikut mengambil bagian dari perkembangan terpelajar pribumi di Indonesia (sudah merdeka, terhitung 1945). Ini membuktikan kepentingan khusus lembaga sensor yang tak terpungkiri lagi.

 Apa sejarah perlu terulang lagi dan membuat Papua Barat untuk merdeka? Walau begitu, perlakuan OPM untuk merdeka saat ini masih melalui senjata-senjata dengan cara-cara yang anarkis. Mungkin mereka nanti akan mengerti lebih pentingnya tulisan-tulisan dan dorongan-dorongan kaum terpelajar untuk mengambil jalan damai. Karena sesungguhnya pensil, kertas, orasi dan dukungan damai dari dunia (cara Soekarno) akan lebih berarti dibanding senjata dan peluru.


Apa hak asasi manusia dan nasionalisme haruslah sungguh bertolak belakang? 

Apa rangkulan damai untukmu berarti menghina tidak berartinya hak bernegara dan nasionalismemu, Papua Barat?
Apa perlukah jalan anarkis, Papua Barat?
Apa perlu referendum, Papua Barat?
Apa menyebut 'Kita satu Indonesia' menghina nasionalismemu, Papua Barat?
Apa haruskah presiden kita pergi kesana dan menghiburmu selalu, Papua Barat?
Hak istimewa mungkin?

Sekian.


Senin, 01 Desember 2014

Ide Untuk Pak Anies



 This is what I call the ‘Environmental Change Behavior Indifference’. This happens when the subjected person lacks the knowledge that change in environment should also correspond to the appropriate behavior expected in a particular environment. Similar self-conclusive assumptions made by the subjected person eliminate the essential difference that might exist in the different environments.

Take for example a female kindergarten teacher that’s been teaching for 5 years since her being 25 to 30 years old. Kindergarteners age from 4-5 years old. At 30 years old, she marries and a son is born. When she is 35, she has no trouble educating both her son and the kindergarteners at school because of the same age. Before and after that short one year of her life, her son is in the phase when he’s younger or older than her kindergarteners. Let’s say she reaches 45. Her son will be in high school and her kindergarteners will be, well, in kindergarten. She has to simultaneously educate a teenager and kindergarteners at the same time. There’s an obvious importance to take into account how to educate her son and her kindergarteners differently given the different environments.

Using the same logic, we can extrapolate this idea. Imagine a professor that has a doctorate degree in mathematics. Although he’s very good in his field of work, he won’t be able to be the project manager in a construction site. The same goes with a civil engineer who has many years of experience working in a construction site. He won’t be able to do research in fluid dynamics using computational modeling and complicated math as his fellow math’s professor, yet he has the ability to run a construction project building a bridge overleaping a cliff in southern France.

As obvious as it may seem, we sometimes lack the knowledge of switching behaviors in different environments. This is obvious because the fields of work in engineering, for example, are clearly categorized, different from those occurring in social sciences, or even life knowledge to view it in an extreme way.

I have often come across with people so respected in their field of work, forgetting that their field of work also has a limit. Individual people ranging from a housewife with small children who keeps telling young adults how to behave, to a PhD in Islamic Laws in the People’s Representative Council of a Pancasila-based democratic country Indonesia.

I’m nobody to blame them. It’s not their faults anyway. They have grown up as they had been raised. Scientific explanation is nowhere to be found. I do have a hypothesis though, that this happens because of the fact that we are always praised although we do not-so-good-of-a-job at school. And sometimes, we just do them just to get the praise from our teachers or our fellow learning mates. Yes, we can get motivations from them. Yes, we can be inspired to learn more from them. But by that only, we have forgotten the true essence of learning by the core.

Teachers have the responsibility to let children learn on their own, not just passing knowledge from their heads to the children’ only. That’s what radio transmitters do. Of course we still do need a national curriculum. What the teachers need to do though is not just to pass the knowledge inside the curriculum to the students, instead to also be the trigger to make the students want to learn it on their own. Teachers have to praise them in the right times, and in the right manner. When they do so, education succeeds. Future generations will not only be doctors that are experts in their fields, but will also know where to stop and respect for other fields of work. Because realistically speaking, no one will ever be doctors in all fields of work.

I’ve been studying in Japan for two years now. And that’s not a long enough time to grasp even half the knowledge of how the Japanese education is making Japanese socialize or interact with each other. But from what I see, Japanese, no matter what position they are (could be a professor, doctor, or a fellow student), when they want to give information to another person, in most times the term ‘かもしれません / kamo shiremasen’ is put in the end. Although this can be translated into the English word ‘maybe’, this term does not, with significance, bring along the sense of uncertainty.

For example, if my Japanese friend had read in the news that the price of Yen was decreasing, they would say it to me as the following: ‘I’ve read in the news that the price of Yen is decreasing kamo shiremasen’. Although they knew it for sure that the price of Yen was decreasing, they would say it in the way that they are not sure about it to give the sense of modesty. Frankly speaking, this is what I rarely see in the Indonesian environment, a slight kamo shiremasen that can actually make a big difference.