Kamis, 05 Mei 2016

Sajak Kopi

Aku terbangun pada pagi ini dan langsung kubuat kopi pahit.
Aku harus bersiap pergi walau badan terasa sakit.

Tak ada yang boleh menghambat kepergianku karena ini untuk masa depanku.
Untuk apa aku rela jauh-jauh merantau kalau bukan untuk Indonesia negriku?

Kopi.. Kopi bisa saja hanya sebuah stimulan bagi semua asa dan semangat.
Tapi hanya dengan kopipun, semuanya takkan berarti tanpa adanya niat dan taat.

Satu sendok, dua sendok kopi yang kuserok, kupadu dengan gula secukupnya.
Sambil kutunggu air memanas, aku melihat berita pagi untuk tahu dunia dan sekelilingnya.

Teror, pemerkosaan, dan Trump terus mengisi laman Facebook-ku.
Hanya kesal dan miris yang bisa kutanam ini takkanlah berguna tanpa adanya gerakku.

Mungkinkah kopiku ini bisa kemudian berguna untuk memberikan semua orang tawa?
Ah mungkin aku hanyalah masih mengantuk, izinkan aku terlebih dahulu mengumpulkan jiwa.

Rabu, 27 April 2016

Iwo Jima, Prajurit Pengkhianat & Tuhan (Catatan Pinggir #2)

Saya baru saja menyelesaikan menonton film ‘Letters From Iwo Jima’, sebuah film yang berlatar perang dunia kedua di suatu pulau bernama Iwo Jima. Pulau ini merupakan pulau kunci untuk memasuki Jepang pada saat itu. Pasukan perang Amerika Serikat mengincar pulau ini untuk dijadikan markas angkatan perang para prajurit-prajuritnya.

Film yang disutradarai oleh Clint Eastwood ini dilengkapi dengan kisah-kisah menyedihkan namun inspiratif karakter-karakter di dalamnya. Secara apik, roman yang terkandung dalam setiap karakter dari film ini diungkap melalui flashback-flashback yang mempesona. Belum lagi menyebutkan pengambilan dan kualitas gambar yang memukau.

Saya terkesan pada satu aspek yang diangkat dalam film ini. Itu adalah pertengkaran batin seorang prajurit. Di balik pemikiran-pemikiran pribadi yang dimiliki seorang prajurit, dirinya telah bersumpah untuk selalu mengikuti atasannya. Adapun kisah dalam film ini mengenai dua orang prajurit yang melarikan diri dari suatu bukit. Kedua prajurit ini melarikan diri karena menyadari bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka apabila mereka menetap di bukit tersebut. Jumlah angkatan perang Amerika Serikat tidak memungkinkan bagi mereka untuk bisa selamat bila menetap disana. Sebelumnya, atasan mereka telah menyuruh mereka untuk berjuang di bukit itu sampai mati. Ketika kedua orang prajurit itu berhasil selamat dengan melarikan diri, atasannya itupun marah dan menganggap mereka pengecut serta pengkhianat negara. Atasannya itupun berniat untuk menembak mati kedua prajurit tersebut walau pada akhirnya dihentikan oleh sang komandan perang.

Dengan cerita ini, kita dapat mengambil poin yang penting walau ada sisi-sisi yang mempunyai argumennya masing-masing. Bila kita lihat dari kacamata kedua orang prajurit tersebut, tentu adalah hal yang rasional bila mereka melarikan diri. Setelah mereka melarikan diri, merekapun bisa membela negara lagi setelah selamat. Itu adalah persis kata-kata dari seorang prajurit kepada yang lainnya. Prajurit yang lainnya itu pada awalnya menegur untuk tidak mengabaikan perintah atasan dan menetap di bukit tersebut. Namun, prajurit yang ingin melarikan diri itupun mengajak prajurit yang lain itu untuk melarikan diri karena dengan begitu mereka akan bisa hidup dan akan terus bisa berjuang dengan pasukan utama. Mereka melarikan diri dan benar saja mereka selamat. Ini artinya adalah 2 orang prajurit tambahan untuk pasukan utama.

Namun, cerita ini belum selesai bila belum dilengkapi dengan perspektif sang atasan tersebut. Walau tidak secara tersurat diceritakan dalam sepenggal cerita ini mengenai strategi keseluruhan seorang komandan perang atau atasannya tersebut, namun izinkan saya menelaah apa yang mungkin menjadi pemikiran sang atasan itu. Dari sisi prajurit, memang hasilnya adalah 2 orang prajurit tambahan. Di sisi lain, bila 2 orang prajurit itu berjuang di bukit yang telah disebutkan itu sampai mati, kita tidak akan pernah tahu berapa banyak pasukan lawan yang bisa berkurang apabila 2 orang prajurit itu berjuang sampai mati. Bisa saja 5, 20, atau 100. Namun, tentu saja bisa 0 pula. Sang atasan menurut pemikiran saya, sudah seharusnya memikirkan hal ini. Mungkin sang atasan memutuskan untuk memberikan kesempatan pada kedua prajurit ini untuk berjuang sampai mati agar 5, 20 atau 100 prajurit lawan bisa terbunuh, tanpa mengurangi pertimbangan akan 0 prajurit lawan yang akan tumbang. Atasannya akan merasa terpenuhi apabila kedua orang prajurit ini mati tetapi telah memberikan jerih payah mereka membunuh pasukan lawan tak peduli apa hasilnya. Kedua orang prajurit inipun tentu akan gugur dalam hormat apabila itu yang terjadi. Ini adalah strategi perangnya mungkin. Namun, yang terjadi adalah mereka melarikan diri dari bukit tersebut dan tidak berjuang sampai mati disana.

Menurut saya, kisah ini sangat bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sering kita merasa suatu hal adalah yang paling baik, dan yang paling rasional tanpa mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, teman, ataupun orang yang mempunyai pengalaman yang lebih dari kita sekalipun. Kita harus menyadari bahwa mungkin saja ada sesuatu yang teman kita, atau orang yang mempunyai pengalaman lebih dari kita itu, ketahui. Contoh yang paling mudahnya adalah agama. Seorang pemeluk agama yang telah mengambil tanggung jawab untuk selalu menghormati Tuhannya akan selalu menaati perintah-Nya. Mungkin dalam hidupnya, ada pula beberapa hal yang terasa rasional untuk ‘melarikan diri dari bukit’ seperti yang dialami oleh kedua orang prajurit tersebut. Namun, Tuhan-pun mungkin sebenarnya memiliki tujuan yang lebih besar lagi untuk hidup seseorang tersebut apabila ia terus mengikuti perintah-Nya.

Baiklah, sebelum tulisan ini menjadi ceramah yang berkepanjangan, ada baiknya saya akhiri.

Tokyo, April 2016
Ruben

Jumat, 15 Januari 2016

Renungan Penghujung Sore

Ada yang bilang bahwa Jepang adalah negara yang sangat nyaman untuk ditinggali. Negara yang dalam jari-jemarinya terlintas kereta api dan bus-bus umum.
Dalam rentangan tangannya, terlintas jalan raya sampai ke pelosok desa.
Menyerupai pembulu darah manusia, menghubungi semua organ di tubuh dengan aneka ragam transportasi.
Seakan dirinya tahu bahwa manusia senang bepergian dan beraktivitas.

Ada juga yang bilang bahwa Jepang adalah negara yang berkebudayaan tinggi, toleran terhadap sesama.
Walau penduduknya homogen, seakan tidak miskinlah pengalamannya memberi warna pada arti kata toleransi.
Toleransi pada yang lebih tua. Toleransi pada wanita. Toleransi pada agama. Pun toleransi pada warga asing.
Seakan dirinya mengerti bahwa manusia senang diperlakukan baik oleh sesama.

Ada juga yang bilang bahwa Jepang teknologinya nomor satu. Dari robot yang bisa melantunkan lagu-lagu klasik dengan piano, tenaga nuklir, dan teknik daur ulang dalam dunia persampahan.
Seakan dirinya sadar bahwa manusia tak akan bisa bertahan di bumi tanpa teknologi yang mencukupi.

Namun, saya pikir tanah Jepangpun tak tahu.
Namun, saya pikir udara Jepangpun tak mengerti.
Namun, saya pikir air Jepangpun tak sadar.
Adalah manusianya yang melakukan ini semua!
Merancang dan membangun alat transportasi dan infrastruktur.
Menanam dan mengajar budaya toleransi lintas generasi.
Menganalisa dan mengembangkan teknologi.

Aku beruntung!
Aku beruntung karena sebenarnya Jepang itu maju karena manusianya.
Tidak ada mineral khusus di tanah Jepang yang menyebabkan Jepang itu maju adanya.
Tidak ada substansi khusus di udara Jepang yang menyebabkan Jepang itu intelek adanya.
Tidak ada elemen khusus di udara Jepang yang menyebabkan Jepang itu terdepan adanya.

Manusianya sama kok spesiesnya dengan manusia Indonesia.
Yang kita butuhkan adalah kesadaran dan tak malu untuk meniru Jepang.
Yang kita butuhkan adalah semangat untuk mengambil kebaikan Jepang.
Yang kita butuhkan adalah asa dan niat untuk menebarkan bibit-bibit Jepang.

Kebanyakan dari kita, beruntung bisa menuntut ilmu di Jepang.
Kebanyakan dari kita pula, mengagumi Jepang dengan sangat.

Namun, yang kita sering lupa adalah, syarat utama dari seseorang mengagumi sesuatu itu adalah bahwa seseorang itu harus skeptislah pula.
Sebagai manusia, sering kita mengagumi sesuatu dan membanding-bandingkannya dengan sesuatu yang lebih buruk, atau tidak sebaik dengan sesuatu yang pertama itu.
Namun, sebagai mahasiswa, saya mengajak anda untuk mengambil langkah tambahan.
Setelah mengagumi dan membandingkan, ada baiknya apabila kita cari letak kesalahan dari yang tidak baik itu dan mulai mencari solusi tentang bagaimana memperbaiki yang tidak baik itu agar menjadi lebih baik.

Dengan begitu, anda tidak hanya menjadi seorang pengagum yang sempurna, tapi anda juga akan menjadi agen perubahan yang sempurna.
Salam.

Ruben


Tokyo, Januari 2016

Rabu, 06 Januari 2016

The Prophet (Chapter: Marriage)

Love one another, but make not a bond of love:
Let it rather be a moving sea between the shores of your souls.
Fill each other’s cup but drink not from one cup.
Give one another of your bread but eat not from the same loaf.
Sing and dance together and be joyous, but let each one of you be alone,
Even as the strings of a lute are alone though they quiver with the same music. Give your hearts, but not into each other’s keeping.
For only the hand of Life can contain your hearts.
And stand together yet not too near together:
For the pillars of the temple stand apart,
And the oak tree and the cypress grow not in each other’s shadow.

-Khalil Gibran
(Born January 6, 1883)

Kamis, 31 Desember 2015

Tahun baru

Tahun baru.

Katanya.

Lembaran baru.

Katanya.

Halaman pertama dari buku setebal 365/366 halaman itu.

Katanya.

Judulnya bisa ditulis di awal, tengah, akhir atau tidak ada judulnya sama sekali.

Katanya.

Semua orang mendapatkannya.

Katanya.

Buku kenangan untuk satu tahun.

Katanya.

Semua punya alat tulisnya sendiri.

Katanya.

Pensil kenangan untuk satu tahun.

Katanya.

Dengan buku yang baru ini, seakan terhapus semua yang tertulis di tahun sebelumnya.

Katanya.

Seakan memulai dari yang baru lagi.

Katanya.

Seakan memulai dari yang segar lagi.

Katanya.


Tapi 'seakan' saja tidak akan cukuplah tentu.

Seakan-akan kau suka aku.

Seakan-akan aku punya uang yang ada di seluruh dunia ini.

Seakan-akan aku bisa memilih darj semua wanita yang ada di dunia ini.

Namun kau tahu, dan aku juga tahu, tidak bisalah semua dinilai dari semata-mata seakan-seakan.

Tidak bisalah interview kerja dinilai dari bagaimana seorang seakan-akan berkemampuan.

Tidak bisa pulalah seorang wanita menerima cinta sang pujaannya dengan bagaimana pujaannya itu seakan-akan bisa berkomitmen.

Walau seakan-akan lembaran baru; yang memang benar adanya; untuk berkata ini adalah buku baru tentu salah besar.

Walau seakan-akan lembaran baru; yang memang benar adanya; untuk berkata ini adalah bab yang baru saja belumlah otomatis.

Tahun baru adalah semata-mata titik dimana tahun berganti.

Satu waktu dimana ada batasan teknis umat manusia untuk menandai titik dalam garis kronologi waktu.

Kadang, untuk mengingat tanggal berapa saja dalam satu bulan kita suka lupa.

Kadang, untuk mengingat hari apa dalam satu minggu saja kita suka lupa.

Tahun tentulah wajib ditandai, kalau tidak, akan kesusahanlah kita menghitung hari dalam minggu, minggu dalam bulan, dan yang paling scientific adalah menentukan antara 365 hari tahun biasa atau 366 harinya tahun kabisat.

Susahlah apabila kita tidak mempunyai suatu angka yang menandai suatu tahun (2016 contohnya yang merupakan tahun kabisat).

Menandai suatu tahun yang isinya 365/366 hari inipun tentu umat manusia sadar harus menandai (karena alasan perlunya menyesuaikan revolusi bumi akan matahari 1 hari dalam 4 tahun).

Maka dari itu, belum tentulah tahun yang baru ini juga menandai masuknya bab baru dalam garis kehidupan manusia.

Bisa saja hanya ganti paragraf.

Bisa.

Bisa saja hanya ganti kalimat.

Bisa.

Bisa saja hanya ganti kata.

Bisa.

Apalagi yang hanya menjalani malam tahun barunya dengan tidur di rumah.

Sudah terlalu banyak resolusi-resolusi sosial media yang menyebutkan 'a new year, a new me'.

Itu semua omong kosong.

Diri seseorang bisa berubah dari setiap bulan.

Diri seseorang bisa berubah dari setiap minggu.

Diri seseorang bisa berubah bahkan dari setiap hari.

Tak perlu menunggu satu tahun untuk berubah.

Mari kita memperdalam makna pembaharuan dan evaluasi diri kita.

Kita tidak hanya bisa berubah hanya pda akhir tahun, bukan?

Resolusi tahunan hanya akan memberikan kita batasan kemampuan dalam satu tahun.

Berbeda halnya apabila kita melakukan secara rutin seperti resolusi bulan, minggu atau hari yang ukurannya jauh lebih kecil.

Jauh lebih kecil, tapi kita melakukannya 365 kali.

Yang menurut saya akan jauh lebih berarti karena bisa secara cepat dievaluasi.

Dan tentu perkembangannya terarah.


Untuk mengakhiri tulisan ini, sebenarnya akan seperti bertolak belakang apabila diakhiri dengan resolusi saya di tahun yang baru ini, bukan?

Tapi mungkin anda bisa mengerti.

Resolusi saya di tahun ke depan adalah untuk lebih bisa memperdalam makna dari resolusi itu sendiri dan akan melakukan resolusi bulanan, mingguan atau bahkan harian.

Happy new year 2016.


Tokyo, Jepang.

Senin, 05 Oktober 2015

Asa


Anehlah adanya.

Taklah berbentuk.

Tak juga berbau.

Wujudnya rapuh.

Mudah tertiup angin.

Menyentuh tetes-tetes air.

Yang singgah di dedaunan itu.


Ia menempel kepadanya.

Ia pergi meninggalkannya.

Tanpa ketuk pintu.

Tanpa izin pamit.

Seperti layaknya manusia.

Yang giat memupuk asa.

Untuk akhirnya sia-sia.


Cinta akan sesama.

Cinta akan rasa.

Cinta akan harta.

Semua ilusi belaka.


Tanpa cinta akan alam.

Akankah esok melihat malam?

Tanpa cinta akan dunia.

Akankah esok ada cahaya?

Tanpa cinta akan lingkungan

Akankah esok ada kehidupan?

Senin, 13 Juli 2015

Ketidakpernahpuasan Manusia

Pulang dari kampus, mendapatkan tempat duduk di kereta pulang Rapid, sungguh hal yang seharusnya sangat menyenangkan diriku.

Tapi lain halnya dengan hari ini. Aku merasa hal itu adalah hal yang biasa. Aku merasa hanya itulah yang memang sudah sepantasnya aku dapatkan. Kereta dibuat dengan kursi di dalamnya hanya supaya aku bisa duduk di dalamnya. Persetan dengan orang lain yang tidak mendapat kursi. Biarkanlah aku nikmati kursi yang sungguh nyaman ini.

Dengan pemikiran alamiah seperti inilah, aku disadarkan bahwa sebenarnya bukan sistem sosial yang seperti apa yang selayaknya terus dikembangkan oleh manusia. Bukan sistem politik seperti apa yang selayaknya dianut suatu negara. Melainkan, hal yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran manusia adalah kesadaran bahwa manusia itu tidak pernah puas. Bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang ia punya, apa sistem sosial suatu negara yang ia tinggali itu jalankan. Manusia akan selalu melihat sisi apa yang sistem sosial tersebut tidak bisa berikan kepadanya, bukan apa yang sistem sosial di negara itu bisa jalankan. Theodore C. Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat pernah berkata, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country”. Jangan tanya apa yang negaramu bisa lakukan terhadap dirimu, tanya apa yang kamu bisa lakukan untuk negaramu.

Dimanapun itu, dengan sistem sosial apapun itu, di setiap sejarah perkembangan reformasi sosial manusia, pasti ada segelintir komunitas manusia yang tidak menyetujui apa sistem sosial atau sistem politik yang dijalankan oleh suatu negara itu. Ini adalah manusia-manusia yang menanyakan apa yang negaranya bisa lakukan untuk diri-diri mereka. Yang sebaiknya dilakukan adalah melihat ke cermin, dan mencari apa kelebihan-kelebihan diri kita yang kita bisa berikan kepada negara. Bila kita pandai berhitung dan menganalisa, mungkin bisa menjadi insinyur. Bila kita pandai dalam menghafal dan menentukan keputusan-keputusan yang tepat, layaknya kita menuntut ilmu agar bisa menjadi hakim di negara kita. Kebanyakan, yang lebih dominan terdapat  di atas muka bumi ini tentunya, adalah manusia-manusia yang mencari-cari hal yang negaranya dengan sistem sosial yang tidak sempurna itu tidak bisa berikan kepada diri-diri mereka.

Sistem sosial di negara yang menganut asas komunisme misalnya, dengan manusianya bekerja untuk mencapai kebaikan bersama, ada saja manusia yang tidak pernah puas karena merasa dirinya bekerja lebih banyak dibanding rekan kerjanya. Ketidakadilan jatah kerja inilah yang menjadikan segelintir umat manusia bisa membuat dirinya punya alasan untuk merasa sistem sosial komunisme adalah sistem sosial yang buruk, yang harus diperbaiki, yang menuntut adanya revolusi suatu negara. Ketidakpuasan manusia inilah yang justru sebenarnya menjatuhkan sistem sosial tersebut, bukan sistem sosialnya itu sendiri. Kesalahkaprahan yang normal. Kesalahkaprahan inilah yang ada di seluruh negara di muka bumi ini. Ada di negara-negara komunisme, dan juga ada di negara-negara kapitalisme.

Mirip halnya di negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme, bisa dengan mudah dilihat dari para buruh-buruh. Buruh-buruh, pekerja kantoran atau proletariat lainnya akan selalu merasa bahwa ada ketidakadilan karena apa yang dirinya telah ciptakan di pabrik langsung diambil dari dirinya dan hak miliknya dirampas oleh para penguasa yang menguasai pabrik tersebut. Para bangsawan dan manusia-manusia borjuis bisa dengan mudahnya menghilangkan hak-hak milik dari buruh-buruh tersebut, walau sebenarnya dalam sistem sosial kapitalisme itu, para penguasa itu telah dengan susah payah bekerja dari bawah untuk mencapai pada tingkatan itu. Di sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi ini saja, ada timbul alasan untuk membuat manusianya ingin melakukan revolusi. Merekapun tidak tahu sistem sosial apa yang pantas berjalan untuk negara tersebut tapi ingin melakukan revolusi.

Timbullah kemudian pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya: Apakah jalan revolusi selalu lebih baik? Jalan revolusikah yang paling sempurna? Apa karena tidak puas saja mau revolusi?

Kecenderungan ini sebenarnya bisa terlihat juga dengan manusia-manusia yang selalu saja memprotes dan mengkritik apa saja kebijakan pemerintah dan presidennya siapapun itu. Baru beberapa bulan atau tahun saja memimpin suatu negara langsung dikritik habis-habisan dan ingin menjatuhkan seorang presiden. Tidak sadarlah mereka akan pola diri mereka sendiri yang juga mengkritik presiden sebelumnya. Tidak sadarlah mereka bahwa perubahan itu butuh waktu. Apa penurunan suatu presiden akan membuat lebih baik? Presidennya ganti seribu-kalipun, saya tidak yakin tidak akan ada segelintir manusia yang ingin menjatuhkan presiden tersebut. Ini karena saya yakin bahwa tidak ada pemerintahan yang bisa berjalan lancar tanpa pemerintahan oposisi. Tapi tentu pada level-level yang normal, moderat dan terkontrol. Kritik-kritik perlu, tapi selayaknya diimbangi dengan toleransi-toleransi yang seimbang.

Balik ke argumen saya yang pertama. Bukan kepada sistem sosial atau politik suatu negaralah yang membuat perlu adanya perkembangan, melainkan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi tolak ukur perkembangan sistem sosial manusia.
Mungkin sudah saatnya kita melihat bukan hanya pada apa yang suatu sistem sosial tidak bisa berikan kepada kita, melainkan apa yang bisa suatu sistem sosial itu berikan kepada kita.

Bisa kita ambil contoh yang paling signifikan yaitu perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet Rusia. Perang ideologi yang sesungguhnya membuat kedua negara berkompetisi secara sehat inilah sudah jelas sekali contoh yang paling nyata bahwa ada ketidakpuasan manusia akan kedua sistem sosial tersebut. Kalau memang sudah merasa puas dengan salah satu sistem sosial, saya rasa tidak perlu hal ini dipermasalahkan, apalagi sampai memicu perang dingin. Kalau sudah bahagia dengan sistem sosial komunisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial kapitalisme. Begitu juga dengan sistem sosial kapialisme, jalankan saja tanpa perlu melihat-lihat negara-negara yang menjalankan sistem sosial komunisme, bukan begitu bukan?

Tentu memang, tidak ada darah yang tercucur dalam perang dingin, tapi jelas yang memicu ini adalah ketidakpuasan manusia. Dan tidak jarang pula kita lihat dari sejarah manusia bahwa banyak sekali darah yang telah bercucuran hanya karena ketidakpuasan manusia.

Bisa karena ketidakpuasan kelompok manusia akan agamanya masing-masing (perang agama), ketidakpuasan kelompok manusia akan batas negaranya (kolonialisme), ketidakpuasan kelompok manusia akan dominasinya di dunia (perang dunia), dll.
Jelas memang, perang dingin dimenangkan oleh Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisme-nya, namun sejarah belum berakhir selama manusia masih ada di dunia ini, selama manusia masih menjadi spesies yang paling dominan di atas muka bumi ini.

Mungkin sistem sosial manusia bisa maju. Kapitalisme dijalankan hampir di seluruh negara di muka bumi ini, dikurangi Rusia, Kuba dan Korea Utara tentunya. Walaupun begitu, yang menjadi permasalahannya adalah kecepatan evolusi otak manusia yang tidak sebanding dengan sistem sosial manusia itu sendiri. Pasti akan ada ketidakpuasan baru yang muncul seiring perkembangan zaman. Ini tentulah dikarenakan otak manusia dengan pemikiran sosialnya belum bisa berevolusi ke arah sistem sosial yang berlaku pada suatu zaman itu.

Sederhananya, sistem sosial kapitalisme tidak bisa dipungkiri memang yang menjadi sistem sosial yang paling dominan di atas muka bumi pada saat ini, tetapi  otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman sebelum revolusi industri. Otak manusianya tetaplah sama dengan otak manusia yang ada di zaman ketika hukum pancung atau hukum salib masih berlaku di Roma, misalnya. Otak manusia tidak bisalah berubah secara signifikan dalam tempo 2000 tahun itu. Lain dengan sistem sosial yang bisa sedemikian cepat berubah dalam waktu 2000 tahun, dari zaman Roma berkuasa, sampai zaman Amerika Serikat berkuasa; Amerika Serikat saja sekarang dalam tempo beberapa puluh tahun sehabis memenangkan perang dingin jatuh tersandung batu disalip Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang yang dulunya saingan yang dipandang sebelah mata. Sekarang, dari pandangan yang hanya sebelah mata tersebut, tidak disadari bahwa ada tangan besar yang siap memukul kepala Amerika Serikat yang sombong itu, bukan?

Saya hanya ingin menyimpulkan, baik sistem sosial apapun itu, baik sistem sosial komunisme, baik sistem sosial kapitalisme, baik sistem sosial sosialisme, Marhaenisme, ataupun negara-negara yang konstitusinya berdasarkan peraturan suatu agama, ataupun kerajaan-kerajaan, tidak akan pernah bisa berjaya selamanya tanpa menyadari bahwa ketidakpernahpuasan manusianya itu selalu ada. Toleransi akan manusia yang tidak pernah puas dan pentingnya menyadari bahwa tidak akan ada suatu sistem sosial yang bisa memenuhi semua kepentingan manusianya adalah yang terpenting, yang seharusnya menjadi titik berat bila kita membicarakan tentang sistem sosial di muka bumi ini.

Karl Marx dengan buku-bukunya yang brilian yang selalu mengkritik kapitalisme, saya rasa kehilangan hal yang terpenting yang seharusnya menjadi titik berat pemikiran tentang sistem sosial manusia. Karakter alamiah manusialah yang menjadi masalah, bukan sistem sosial kapitalisme sendiri. Anggaplah buruh-buruh proletariat itu melakukan revolusi dari kapitalisme menjadi sosialisme. Selang puluhan tahun, tentu akan timbul keinginan untuk revolusi karena ketidaknyamanan sistem sosial sosialisme yang membuat adanya ketidakadilan antara manusia yang bekerja lebih dari manusia yang malas-malasan bekerja namun tetap mendapatkan hasil yang sama. Apa perlu revolusi lagi? Apa benar revolusi itu menjadikan sesuatu menjadi lebih baik?

Menurut saya, yang terpenting adalah penyadaran bahwa sistem sosial itu tidak akan pernah sempurna. Marilah mulai sekarang kita melihat apa yang sistem sosial itu bisa berikan kepada kita, bukan yang sistem sosial itu tidak bisa berikan kepada kita, dan toleransi terhadap ketidakpernahpuasan manusia itulah yang seharusnya menjadi acuan.