Feeling insecure, atau yang bisa dalam bahasa Indonesia
dikatakan sebagai ‘tidak percaya diri’, selalu melekat dalam diri manusia.
Manusiapun dapat memilih untuk kemudian menunjukkan rasa
insecure itu ataupun mengendapnya dalam diri mereka masing-masing.
Merasakan insecure sangat wajar karena merupakan suatu fenomena
yang natural bagi setiap makhluk hidup.
Makhluk hidup yang berevolusi wajib mempunyai
karakteristik ini agar spesies mereka tidak terancam.
Sama prinsipnya dengan merasakan takut akan bahaya,
seekor rusa akan waspada melihat sekelilingnya di savanah yang luas agar tidak
diterkam singa secara diam-diam.
Begitu pula dengan segerombolan flamingo yang mengambil
air dengan cungurnya di danau harus berantisipasi untuk kemungkinan adanya
buaya yang menerkam dari dalam danau.
Pun begitu dengan manusia.
Merasakan kedinginan ketika sedang dalam cuaca yang
dingin secara otomatis memberikan siasat kepada tubuh untuk menguras energi
melawan dingin tersebut, atau sesederhana membuat mereka berpindah ke tempat
yang lebih hangat.
Merasakan takut apabila memacu mobil hingga 200km/jam di
jalan tol tanpa pengaman membuat mereka sadar dan teknologi seperti SRS airbag
dan rem otomatispun diciptakan.
Layaknya sensor takut, manusia juga sudah pada hakikatnya
secara alami merasakan ketidakpercayadirian (feeling insecure) itu.
Seorang model dapat merasa tidak percaya diri pada
penampilannya walau banyak orang menganggap dirinya cantik.
Seorang yang obesitas dapat merasa tidak percaya diri
pada berat badannya.
Itu semua memang secara alami pantas terjadi.
Manusia yang juga merupakan makhluk hidup yang hanya
lebih unggul dalam hal evolusipun pantas merasakan ketidakpercayadirian itu.
Namun, yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk
lainnya adalah bahwa manusia berbeda-beda dan komplekslah tingkat ketidakpercayadiriannya
berdasarkan lingkungan di sekitarnya.
Wanita yang dilahirkan di Indonesia dengan salah satu persepsi
kecantikan yang dibangun yaitu yang berkulit putih akan merasa insecure bila
kulitnya tidak putih.
Berbeda dengan wanita yang dilahirkan di Swedia misalnya,
dengan persepsi kecantikan yaitu yang kulitnya sedikit gelap atau tanned, akan
merasa insecure apabila kulitnya terlalu putih atau pucat.
Yang patut ditegaskan disini adalah wajar seorang manusia
merasakan ketidakpercayadirian itu, karena itu akan membuat mereka menjadi
lebih baik (berdasarkan persepsi di lingkungan mereka).
Wanita Indonesia tadi akan mencari cara agar membuat
kulitnya menjadi putih dengan memakai sabun pemutih misalnya, dan wanita Swedia
tadipun akan membuat kulitnya menjadi lebih gelap dengan berjemur di pantai
misalnya.
Manusia yang obesitaspun akan lebih mudah menurunkan
berat badan apabila rasa tidak percaya diri itupun dipupuk.
Namun, apabila terlalu berlebihan juga akan merugikan si
manusia tersebut.
Manusia yang berlebihan rasa insecurenyapun akan terus khawatir
dan tidak percaya diri; ini dapat membuat mindset mendalam yang tidak akan
membuat manusia itu bisa berkembang sebab manusia tersebut selalu merasa
inferior.
Sama halnya dengan rusa dan juga flamingo.
Rusa akan tidak bisa beraktivitas apapun dan mati
kelaparan karena tidak bisa mencari mangsanya sendiri oleh ketakutan yang menyelimuti.
Flamingopun akan mati kehausan karena terus khawatir
buaya akan menerkamnya dari dalam danau ketika hendak minum air.
Sedikit lebih dalam, kitapun dapat menarik kesimpulan
bahwa merasa tidak percaya diri itu penting, namun kita juga tidak boleh berlebihan
merasa tidak percaya diri, harus with moderation.
Singkatnya, apabila kita melihat seorang manusia yang
selalu percaya diri, kita patut mempertanyakan apakah dirinya benar-benar
manusia.
Ketika kita mendengar seorang manusia yang selalu percaya
diri dengan tafsir agamanya, kita patut mempertanyakan apakah dirinya betul-betul
manusia.
Ketika kita melihat seorang manusia yang selalu percaya
diri dengan korupsi dan mengambil uang rakyat, kita patut mempertanyakan apakah
dirinya sungguh-sungguh manusia.
Ketika kita memperhatikan seorang manusia yang selalu
percaya diri menjelek-jelekan orang lain tanpa melihat kebaikan yang dimiliki
orang lain, kita patut mempertanyakan apakah dirinya seratus persen manusia.
Atau mungkinkah mereka manusia setengah dewa?
Dewa kotoran manusia.
Ruben
Kanagawa, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar