Mungkin
terdengar, terasa, dan tertuliskan dalam sejarah manusia bahwa keduanya selalu
berdampingan, yang dianggap bahwa yang satu tidak akan pernah bisa berdiri
sendiri tanpa yang lain. Cinta akan hampa tanpa adanya keinginan jasmani
seorang pria dan wanitanya untuk memiliki satu sama lain. Sebaliknya, keinginan
jasmani tanpa cintapun menafikan manusia yang dikatakan memiliki nalar dan yang
bisa mengontrol emosi diri dari hasrat-hasrat naluriah makhluk hidup belaka.
Namun, tidak
selamanya cinta yang akan selalu mendikte manusianya untuk memuaskan keinginan
jasmani manusia. Manusialah yang mengontrol cinta, dan bukan sebaliknya.
Manusia terlalu maju untuk tidak malu dengan kemampuannya untuk mengontrol
cinta.
“Budak Cinta”
adalah idiom yang sering digunakan untuk memberikan label pada manusia-manusia
yang tidak memliki kemampuan untuk mengontrol cintanya. Manusia-manusia yang
didikte secara goblok oleh cinta yang sebenarnya ia miliki tersebut, membuat
dirinya tak berdaya, membuat seluruh darah yang ada pada tubuhnya hanya
terfokus pada sekumpulan sel dalam otak yang berfungsi untuk memuaskan seluruh
keinginan pasangannya.
Bodoh, tolol,
idiot.
Manusia yang sudah
berevolusi jutaan tahun bisa-bisanya tidak bisa mengikuti perkembangan kemampuan
untuk mengontrol rasa cinta. Apa ini yang dinamakan love is blind? Tentu saja bukan. Apa bila love is blind, love tidak
akan pernah bisa mengontrol manusia untuk menjadikannya sebegitu bodohnya.
Manusia lemahlah yang kemudian dijadikan buta akibat kepintaran dan kelicikan
cinta itu sendiri.
Namun,
berbahagialah kita yang masih bisa mencinta, karena sesungguhnya cintapun yang
menjadikan manusia pada zaman ini yang terpilih, dengan cara yang paling
demokratis, dan dengan menganut asas-asas hukum yang sesuai. Bagaimana tidak,
yang memilih manusianya sendiri, dan disetujui oleh kedua belah pihak dengan
memberikan ‘suara’ mereka, dan adil karena kedua insan yang dipersatukan oleh
cintapun mempunyai hak-hak dan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan
persetujuan yang mereka sendiri buat di awal hubungan. Pun bila adanya
pertengkaran, dapat diselesaikan dengan cara yang musyawarah, atau jikalau
sudah melebihi batasnya, cinta itupun putus dan keduanya pergi ke jalannya
masing-masing jika tidak ada pengadilan banding untuk menyambung hubungan
mereka kembali.
Kadang, kita
harus belajar dari cinta.
Atau, cinta yang
harus belajar dari kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar