Hari ini aku ada kelas mulai pukul 10:40 di kampus. Walaupun begitu, aku sampai
di kampus pukul 9:15. Ada yang aneh dengan diriku hari ini. Aku ingin berangkat
lebih awal. Mungkin ini karena aku hanya ingin makan pagi bersama keluarga
kosku, atau juga aku mau lebih tenang sebelum memulai pelajaran hari ini, atau
mungkin juga aku tidak memikirkan keduanya.
Aku seakan membuat diriku melakukan rutinitas hidupku dalam autopilot. Dari tanggungjawab sebagai
anak, sebagai mahasiswa, sebagai koordinator PPI, sebagai pembantu di gereja.
Aku merasa semua itu tak ada artinya. Aku jalani sedemikian rupa sehingga
terasa seperti itu adalah hal yang harus aku lakukan. Aku harus melakukan
hal-hal itu tanpa memikirkan ada tidaknya inti di baliknya semua. Ada tidaknya
makna di balik itu semua.
Aneh diriku hari ini. Apa sudah seharusnya aku melakukan ini semua tanpa
mencari makna? Apa sesungguhnya ada tapi karena terlalu seringnya kulakukan
rutinitas ini semua menjadi hampalah maknanya?
Walau begitu, yang lebih anehnya lagi dibanding keanehan diriku hari ini
adalah: aku mengerti aku memang belum bisa mengambil makna dari mengapa aku harus melakukan ini semua, tetapi aku bisa melihat
kekosongan makna dari apa yang aku lakukan diluar hal-hal yang
menjadi tanggung jawabku. Karena aku sudah berkomitmen untuk menjadi anak yang
baik, menjadi mahasiswa yang produktif, menjadi koordinator PPI yang
mendengarkan dan menjadi pembantu gereja yang setia, aku harus melakukan tanggung
jawabku tersebut. Beda halnya dengan menanyakan mengapa aku mau mengambil
komitmen tersebut, tentu.
Mungkin ini yang juga dirasakan banyak salaryman-salarywoman yang ada di
sekitarku ketika aku naik kereta pagiku ke kampus. Mungkin ini yang juga
dirasakan salaryman-salarywoman yang
ada di sekitarku ketika aku naik kereta malamku ke rumah. Walau tentu batasan
duniawinya dan ideologi kapitalis mengharuskan mereka untuk mengambil komitmen
itu dan menghasilkan penghasilan, tapi apa benar lalu alienation yang disebutkan Karl Marx sudah dalam hakikatnya dan
tidak bisa dihindari lagi akan terjadi, memakan jiwa mereka secara perlahan,
mematikan otak mereka untuk memikirkan ide-ide kebebasan?
Semoga
walau salaryman adalah jalan yang
paling jelas di depan mataku, aku tidak akan pernah lupa kalau aku adalah
manusia yang bebas pula, manusia yang bisa menghindari alienation-alienation yang seakan diprediksikan terjadi dalam jiwa
raga seorang proletariat.
Tokyo 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar