Senin, 15 Desember 2014
Berita, Lembaga Sensor & Papua Barat
Dari mulai zaman kolonial, zaman Belanda menduduki dan menjajah Hindia Belanda (sekarang Indonesia), berita dengan berbagai macam bentuk dan medianya tentu menjadi pedoman banyak golongan di daerah jajahan tersebut.
Terdapat sumber berita kolonial yang dipegang oleh Belanda atau Gubermen, juga sumber berita de Locomotief, Indische Partij dengan koran de Expres, dan yang menjadi daya tarik tersendiri yaitu Medan Prijaji yang dikontrol pribumi. Yang terakhir menjadi kunci karena dibaca oleh pribumi dengan jumlah yang mengagumkan, hari demi hari semakin dibuka matanya akan penjajahan yang sedang dialaminya.
Keberagaman inipun terus dipelihara hingga sekarang. Golongan yang berkembang sekarang, bukan lagi hanya dibatasi oleh golongan ras dan agama, namun juga ditambah dengan ideologi, kecenderungan dan kiblat cara pandang.
Ini tentu sangatlah wajar. Karena sesungguhnya satu manusia di dunia ini takkan punya perspektif pemikiran yang sama persis dengan yang lainnya. Walau dididik dan dibesarkan dalam satu atap pun, pasti ada hal yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya. Dari kesukaannya terhadap ikan bakar, penghindarannya terhadap sayuran, sampai kecenderungannya berpikir dengan paham pancasila demokratis, atau mengarah ke islam syariah.
Namun jelas, lembaga sensor itu perlu adanya. Pada zaman kolonial, sangat penting adanya mata dan telinga yang dapat meredam kesadaran terpelajar pribumi akan penjajahan Belanda bila sudah terlalu membahayakan stabilitas politik. Pandangan-pandangan liberal sangatlah bertolak belakang dengan kehendak para petinggi kolonial di Hindia Belanda. Dari pengasingan pendiri-pendiri Indische Partij ke Belanda, pengasingan Tirto Adhi Soerjo ke pulau Bacan, sampai Pulau Buru yang menjadi tempat pengasingan Pramoedya Ananta Toer.
Tentu badan pengontrol media ini akan menjadikan gambaran yang jahat dan kejam untuk petinggi-petinggi Hindia Belanda pada saat itu bahkan juga sekarang. Tapi akan lebih mudah memahami maksud dan tujuan pengasingan-pengasingan ini apabila kita menempatkan kita di tempat yang menjajah. Kita, Indonesia? Pernah menjajah?
Ambil contoh Papua Barat. Apa kita boleh tenang-tenang saja akan organisasi yang ingin memerdekakan Papua Barat seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka)? Apa justru kita harus mendukung OPM untuk merdeka? Apa kita kejam merampas hak mereka untuk merdeka? Apa kita sama dengan para penjajah Belanda yang dulu menjajah Bangsa Indonesia? Kalaupun beda, apa letak bedanya sungguh signifikan?
Tentu pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul di benak kita semua. Kita tentu ingin Papua barat tetap berada dalam bagian NKRI karena memang dari mulai Indonesia merdeka 1945 sampai sekarang ya Papua Barat itu memang bagian dari NKRI, bukan? Ini prinsipnya jelas sama dengan apa yang dipikirkan petinggi-petinggi Hindia Belanda sebelum 1945.
Sebelum itu, apa tidak lain kalau mereka menganggap tanah Hindia Belanda itu adalah bagian dari Belanda?
Benderanya? Bendera Belanda (Merah Putih Biru)
Pemerintahan? Dipimpin oleh Gubernur Jenderal. (Salah satunya Gubernur Jenderal Idenburg pada 1909-1916.
Penduduknya? 97% Pribumi. (Bangsa Eropa hanya 0.4%)
Semenjak 1965, OPM didirikan untuk memerdekakan Provinsi Papua Barat dari pemerintahan (penjajahan) Indonesia. Organisasi ini diredam karena akan memicu terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut. Kalau tidak ada larangan dan redaman yang dapat menandingi gerakan OPM ini, tentu sekarang kita akan melihat bendera bintang kejora tercantum di buku-buku geografi dunia. Kekerasan jugalah yang harus menjadi jalan, dan saya tidak berbicara puluhan tahun yang lalu. Beberapa tahun ini, beberapa bulan ini, detik ini, sekarang dan kemungkinan besar besokpun masih akan terus terjadi. Ini sungguhan.
(Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua)
- Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum, kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI.
-12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.
Belanda kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda karena diambil alih oleh kekaisaran Tentara Jepang setelah lebih dari 3 abad menjajah Indonesia. Dan Jepang, kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda setelah 3 tahun karena runtuh kekaisarannya oleh bom atom Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki.
Belanda kembali dan memimpin Hindia Belanda dengan Komisaris Besar sampai akhirnya pada 27 Desember 1949 dengan pendirian Republik Indonesia Serikat.
Yang menjadi penting disini adalah perbedaan bahwa sudah matang dan kuatnya terpelajar pribumi. Karena demikian, Republik Indonesia Serikatpun berhasil diruntuhkan pada 17 Agustus 1950.
Beberapa tahun tanpa pengontrol media ataupun lembaga sensor inipun yang saya anggap ikut mengambil bagian dari perkembangan terpelajar pribumi di Indonesia (sudah merdeka, terhitung 1945). Ini membuktikan kepentingan khusus lembaga sensor yang tak terpungkiri lagi.
Apa sejarah perlu terulang lagi dan membuat Papua Barat untuk merdeka? Walau begitu, perlakuan OPM untuk merdeka saat ini masih melalui senjata-senjata dengan cara-cara yang anarkis. Mungkin mereka nanti akan mengerti lebih pentingnya tulisan-tulisan dan dorongan-dorongan kaum terpelajar untuk mengambil jalan damai. Karena sesungguhnya pensil, kertas, orasi dan dukungan damai dari dunia (cara Soekarno) akan lebih berarti dibanding senjata dan peluru.
Apa hak asasi manusia dan nasionalisme haruslah sungguh bertolak belakang?
Apa rangkulan damai untukmu berarti menghina tidak berartinya hak bernegara dan nasionalismemu, Papua Barat?
Apa perlukah jalan anarkis, Papua Barat?
Apa perlu referendum, Papua Barat?
Apa menyebut 'Kita satu Indonesia' menghina nasionalismemu, Papua Barat?
Apa haruskah presiden kita pergi kesana dan menghiburmu selalu, Papua Barat?
Hak istimewa mungkin?
Sekian.
Senin, 01 Desember 2014
Ide Untuk Pak Anies
This is what I call the ‘Environmental Change Behavior
Indifference’. This happens when the subjected person lacks the knowledge
that change in environment should also correspond to the appropriate behavior
expected in a particular environment. Similar self-conclusive assumptions made
by the subjected person eliminate the essential difference that might exist in
the different environments.
Take for example
a female kindergarten teacher that’s been teaching for 5 years since her being 25
to 30 years old. Kindergarteners age from 4-5 years old. At 30 years old, she
marries and a son is born. When she is 35, she has no trouble educating both
her son and the kindergarteners at school because of the same age. Before and
after that short one year of her life, her son is in the phase when he’s younger
or older than her kindergarteners. Let’s say she reaches 45. Her son will be in
high school and her kindergarteners will be, well, in kindergarten. She has to
simultaneously educate a teenager and kindergarteners at the same time. There’s
an obvious importance to take into account how to educate her son and her
kindergarteners differently given the different environments.
Using the same
logic, we can extrapolate this idea. Imagine a professor that has a doctorate
degree in mathematics. Although he’s very good in his field of work, he won’t
be able to be the project manager in a construction site. The same goes with a
civil engineer who has many years of experience working in a construction site.
He won’t be able to do research in fluid dynamics using computational modeling
and complicated math as his fellow math’s professor, yet he has the ability to
run a construction project building a bridge overleaping a cliff in southern
France.
As obvious as it
may seem, we sometimes lack the knowledge of switching behaviors in different
environments. This is obvious because the fields of work in engineering, for
example, are clearly categorized, different from those occurring in social
sciences, or even life knowledge to view it in an extreme way.
I have often
come across with people so respected in their field of work, forgetting that
their field of work also has a limit. Individual people ranging from a
housewife with small children who keeps telling young adults how to behave, to
a PhD in Islamic Laws in the People’s Representative Council of a Pancasila-based
democratic country Indonesia.
I’m nobody to
blame them. It’s not their faults anyway. They have grown up as they had been
raised. Scientific explanation is nowhere to be found. I do have a hypothesis
though, that this happens because of the fact that we are always praised although
we do not-so-good-of-a-job at school. And sometimes, we just do them just to
get the praise from our teachers or our fellow learning mates. Yes, we can get
motivations from them. Yes, we can be inspired to learn more from them. But by
that only, we have forgotten the true essence of learning by the core.
Teachers have
the responsibility to let children learn on their own, not just passing
knowledge from their heads to the children’ only. That’s what radio
transmitters do. Of course we still do need a national curriculum. What the
teachers need to do though is not just to pass the knowledge inside the
curriculum to the students, instead to also be the trigger to make the students
want to learn it on their own. Teachers have to praise them in the right times,
and in the right manner. When they do so, education succeeds. Future
generations will not only be doctors that are experts in their fields, but will
also know where to stop and respect for other fields of work. Because realistically
speaking, no one will ever be doctors in all fields of work.
I’ve been
studying in Japan for two years now. And that’s not a long enough time to grasp
even half the knowledge of how the Japanese education is making Japanese
socialize or interact with each other. But from what I see, Japanese, no matter
what position they are (could be a professor, doctor, or a fellow student),
when they want to give information to another person, in most times the term ‘かもしれません / kamo shiremasen’ is put
in the end. Although this can be translated into the English word ‘maybe’, this
term does not, with significance, bring along the sense of uncertainty.
For example, if
my Japanese friend had read in the news that the price of Yen was decreasing,
they would say it to me as the following: ‘I’ve
read in the news that the price of Yen is decreasing kamo shiremasen’. Although they knew it for sure that the price
of Yen was decreasing, they would say it in the way that they are not sure
about it to give the sense of modesty. Frankly speaking, this is what I rarely
see in the Indonesian environment, a slight kamo
shiremasen that can actually make a big difference.
Langganan:
Postingan (Atom)