Saya baru saja
menyelesaikan menonton film ‘Letters From Iwo Jima’, sebuah film yang berlatar
perang dunia kedua di suatu pulau bernama Iwo Jima. Pulau ini merupakan pulau
kunci untuk memasuki Jepang pada saat itu. Pasukan perang Amerika Serikat mengincar
pulau ini untuk dijadikan markas angkatan perang para prajurit-prajuritnya.
Film yang
disutradarai oleh Clint Eastwood ini dilengkapi dengan kisah-kisah menyedihkan namun
inspiratif karakter-karakter di dalamnya. Secara apik, roman yang terkandung
dalam setiap karakter dari film ini diungkap melalui flashback-flashback yang mempesona. Belum lagi menyebutkan pengambilan
dan kualitas gambar yang memukau.
Saya terkesan
pada satu aspek yang diangkat dalam film ini. Itu adalah pertengkaran batin seorang prajurit. Di balik pemikiran-pemikiran
pribadi yang dimiliki seorang prajurit, dirinya telah bersumpah untuk selalu
mengikuti atasannya. Adapun kisah dalam film ini mengenai dua orang prajurit yang
melarikan diri dari suatu bukit. Kedua prajurit ini melarikan diri karena
menyadari bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka apabila mereka menetap di
bukit tersebut. Jumlah angkatan perang Amerika Serikat tidak memungkinkan bagi
mereka untuk bisa selamat bila menetap disana. Sebelumnya, atasan mereka telah
menyuruh mereka untuk berjuang di bukit itu sampai mati. Ketika kedua orang
prajurit itu berhasil selamat dengan melarikan diri, atasannya itupun marah dan
menganggap mereka pengecut serta pengkhianat negara. Atasannya itupun berniat
untuk menembak mati kedua prajurit tersebut walau pada akhirnya dihentikan oleh
sang komandan perang.
Dengan cerita
ini, kita dapat mengambil poin yang penting walau ada sisi-sisi yang mempunyai
argumennya masing-masing. Bila kita lihat dari kacamata kedua orang prajurit
tersebut, tentu adalah hal yang rasional bila mereka melarikan diri. Setelah
mereka melarikan diri, merekapun bisa membela negara lagi setelah selamat. Itu
adalah persis kata-kata dari seorang prajurit kepada yang lainnya. Prajurit
yang lainnya itu pada awalnya menegur untuk tidak mengabaikan perintah atasan
dan menetap di bukit tersebut. Namun, prajurit yang ingin melarikan diri itupun
mengajak prajurit yang lain itu untuk melarikan diri karena dengan begitu
mereka akan bisa hidup dan akan terus bisa berjuang dengan pasukan utama. Mereka
melarikan diri dan benar saja mereka selamat. Ini artinya adalah 2 orang
prajurit tambahan untuk pasukan utama.
Namun, cerita ini
belum selesai bila belum dilengkapi dengan perspektif sang atasan tersebut.
Walau tidak secara tersurat diceritakan dalam sepenggal cerita ini mengenai
strategi keseluruhan seorang komandan perang atau atasannya tersebut, namun
izinkan saya menelaah apa yang mungkin menjadi pemikiran sang atasan itu. Dari
sisi prajurit, memang hasilnya adalah 2 orang prajurit tambahan. Di sisi lain,
bila 2 orang prajurit itu berjuang di bukit yang telah disebutkan itu sampai
mati, kita tidak akan pernah tahu berapa banyak pasukan lawan yang bisa
berkurang apabila 2 orang prajurit itu berjuang sampai mati. Bisa saja 5, 20,
atau 100. Namun, tentu saja bisa 0 pula. Sang atasan menurut pemikiran saya,
sudah seharusnya memikirkan hal ini. Mungkin sang atasan memutuskan untuk
memberikan kesempatan pada kedua prajurit ini untuk berjuang sampai mati agar
5, 20 atau 100 prajurit lawan bisa terbunuh, tanpa mengurangi pertimbangan akan
0 prajurit lawan yang akan tumbang. Atasannya akan merasa terpenuhi apabila
kedua orang prajurit ini mati tetapi telah memberikan jerih payah mereka membunuh
pasukan lawan tak peduli apa hasilnya. Kedua orang prajurit inipun tentu akan
gugur dalam hormat apabila itu yang terjadi. Ini adalah strategi perangnya
mungkin. Namun, yang terjadi adalah mereka melarikan diri dari bukit tersebut
dan tidak berjuang sampai mati disana.
Menurut saya,
kisah ini sangat bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sering kita
merasa suatu hal adalah yang paling baik, dan yang paling rasional tanpa
mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, teman, ataupun orang yang
mempunyai pengalaman yang lebih dari kita sekalipun. Kita harus menyadari bahwa
mungkin saja ada sesuatu yang teman kita, atau orang yang mempunyai pengalaman
lebih dari kita itu, ketahui. Contoh yang paling mudahnya adalah agama. Seorang
pemeluk agama yang telah mengambil tanggung jawab untuk selalu menghormati
Tuhannya akan selalu menaati perintah-Nya. Mungkin dalam hidupnya, ada pula
beberapa hal yang terasa rasional untuk ‘melarikan diri dari bukit’ seperti
yang dialami oleh kedua orang prajurit tersebut. Namun, Tuhan-pun mungkin
sebenarnya memiliki tujuan yang lebih besar lagi untuk hidup seseorang
tersebut apabila ia terus mengikuti perintah-Nya.
Baiklah, sebelum
tulisan ini menjadi ceramah yang berkepanjangan, ada baiknya saya akhiri.
Tokyo, April 2016
Ruben